Halo Mama, Papa
Aileen selesai menaburkan bunga di atas makan kedua orangtuanya. Ia tidak menangis lagi. Walaupun sejujurnya ia sangat ingin. Tapi, Aileen mencoba belajar ikhlas dengan kepergian.
Javier hanya menatap punggung mungil yang menahan isakannya. Sekuat apapun gadis itu, ia tidak akan bisa menahan tangis kalau yang dihadapinya adalah orang tuanya.
“Ma, Pa, besok Aileen ulang tahun. Yang ke-17. Ai udah dewasa, kan?” Aileen menghapus jejak air mata sebelum melanjutkan ucapannya. “Ma, Pa, Om Papa juga ada disini nemenin Ai ketemu kalian. Om Papa, baiiikk banget. Sampe kadang aku mikir kalo Om Papa itu bukan manusia karena saking baiknya.”
Setetes air mata jatuh dari mata Javier. Tidak terlalu jelas, namun Javier mendengar apa yang dikatakan Aileen.
“Sekarang, Om Papa yang jadi orang tua aku. Bukan maksudnya menggantikan kalian. Kalian punya tempat khusus di hatiku, begitu pun Om Papa. Gak apa, kan, kalo Om Papa sekarang aku panggil Papa? Tapi, jangan bilang-bilang dulu ya. Aku takut Om Papa kesenengan.”
Gadis itu mencoba tertawa sambil menghapus air matanya. Ia memandangi sebentar nisan yang mengukir nama kedua orang tuanya.
*“Ma, Pa, Ai pamit pulang ya? Nanti Ai kesini lagi, kok. Kalian jangan lupa datang ke ulang tahu Ai, ya? Walaupun lewat mimpi, Ai udah seneng banget.”
Aileen tersenyum tipis sebelum beranjak. Ternyata, Javier sudah tidak ada di belakangnya lagi. Mungkin, Javier langsung pergi saat menyadari dirinya menangis tadi.
Sosok Papa Muda itu kini sudah menunggu Putrinya di depan mobil.
“Udah ngobrolnya sama Mama Papa?”
Aileen menjawab dengan anggukan. Tanpa bicara banyak, ia masuk ke dalam mobil lebih dulu. Moodnya memang selalu kurang baik setelah menangis.
“Besok kamu ulang tahun, mau kado apa?”
Aileen nampak berpikir sejenak. “Mau Om Papa ada di party aja. Bisa gak libur besok?”
“Bisa, besok Papa kosongin semua jadwal buat kamu.”
“Makasih.”