Nangis
Aileen masih terus menangis walaupun sudah berkali-kali Javier mengatakan, “Gak papa.”
Tubuhnya yang sedang dalam kondisi kurang sehat ia gunakan untuk menangis sampai napasnya tersendat. Matanya sudah bengkak, bahkan air matanya sudah tidak lagi mengalir. Tapi, gadis itu masih ingin menangis karena rasa bersalahnya yang teramat besar.
Ini yang Aileen khawatirkan dari dulu. Gadis itu takut kalau keberadaannya justru mengganggu karier dan masa depan Javier. Padahal, Aileen hanya keponakan yang kebetulan diurus oleh Javier karena Orang Tuanya telah tiada.
Aileen menarik napasnya susah payah, membuat Javier khawatir kalau gadis itu kesulitan bernapas. Ia sudah terlalu banyak menangis.
Javier yang awalnya hanya memerhatikan gadis itu menangis pun menariknya ke dalam pelukan. “Aileen, anak baik, udah ya nangisnya? Kan tadi udah janji gak akan nangis lagi.”
“Tah-pi, gara-gara akh-u Om Papa jadih gih-ni.” Suaranya serak, bicaranya putus-putus. Aileen benar-benar kelelahan menangis.
“Papa gak papa, gak ada apa-apa juga. Kamu jangan terlalu khawatir. Semuanya baik-baik aja.”
“Ma-af.” Berkali-kali gadis itu menggumamkan kata maaf, membuat Javier tidak enak hati.
Dipeluknya Aileen semakin erat supaya gadis itu lebih tenang. Javier khawatir kalau Aileen jadi sakit lagi. Anak itu, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan semalem, panas tubuhnya hampir 40 derajat.
“Udah ya nangisnya, nanti kamu capek.”
Aileen mengangguk, tapi isakannya tidak bisa membohongi Javier. Ya sudah, biar saja Putrinya menangis sampai puas. Kalau sakit lagi pun, Javier siap dan sanggup mengurusnya.
Javier menepuk-nepuk pundak yang masih bergetar itu pelan. Aileen jauh lebih tenang di dalam pelukannya dari sebelumnya. Napasnya perlahan normal, tapi tubuhnya sangat lemas. Javier melirik sebentar dan melihat gadis itu memejamkan mata bengkaknya.
Laki-laki itu menghela napas lega. Lebih bagus Aileen tertidur dari pada terus menangis.
Walaupun tangannya pegal karena harus menahan berat Aileen yang perlahan terlelap dalam peluknya, Javier masih berusaha untuk tegak agar gerak tubuhnya tidak mendistraksi Putrinya.
Setelah memastikan gadis itu pulas, Javier perlahan memindahkannya ke tempat tidur. Ia menarik selimut sampai sebatas leher agar dinginnya air conditioner tidak membuat Putrinya yang kembali sakit menggigil.
Javier menghela napas berat. Barusan, ia memegang dahi Aileen, dan ya, tubuhnya panas lagi. Ia berjalan keluar mengambil air untuk mengompres.
“Jav, lo dimana?” teriak seseorang yang tiba-tiba memasuki rumahnya.
“Dean anjing, anak gue baru tidur,” balas Javier sambil memelankan suaranya.
Deandra berdiri kikuk. “Sorry, gue gak tau.”
“Kenapa?”
“Ini, gue mau ngomongin kasus lo yang ketauan punya anak.”
“Oh.” Javier mengangguk, kemudian ia menyuruh Deandra ke ruang kerjanya lebih dulu. “Lo ke ruang kerja gue dulu aja. Gue mau ambil air buat kompres Aileen, badannya panas lagi.”
Deandra langsung menurut. Sebelum ia benar-benar masuk ke dalam ruangan, diperhatikannya punggung tegap yang perlahan mengecil seiring langkahnya menuju dapur.
“Lo baik banget Jav, Aileen beruntung ada lo di sisinya,” gumam Deandra yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.