Perang Dingin

Ini Sabtu pagi, dan tumben sekali Aileen sudah bangun. Sudah mandi juga. Ayo, beri tepuk tangan. Karena tidak biasanya gadis itu bangun pagi di hari Sabtu.

Katanya, “Hari pertama weekend, ayo kita males-malesan aja.”

Tapi, karena ia lupa makan malam semalam dan tidur lebih cepag dari biasanya, Aileen jadi harus bangun pagi dengan perut keroncongan.

Aileen sudah menyuruh Calvian untuk membelikannya sarapan, sih. Tapi, entah di mana Sepupunya itu membeli sarapan.

Lima menit kemudian, tak lama setelah Aileen menggerutu, Calvian datang membawakan sarapan.

“Rumah lo dingin banget,” ucap Calvian sambil menyerahkan bungkusan makanan.

“Hah? Enggak ah, biasa aja.”

“Maksudnya suasananya.” Calvian duduk di sebelah Aileen sambil ikut sarapan. “Lo lagi marahan sama Om Jav?” lanjut laki-laki itu penuh penasaran.

Aileen hanya menjawab dengan gelengan. Calvian tidak percaya. Jelas-jelas tadi saat ia masuk dan bertemu Javier di ruang tengah, Papa Muda itu hanya melamun dengan aura dingin yang mengelilinginya. Saat ditanya tentang Aileen, Javier pun menjawab tanpa minat.

“Boong, ya?”

Aileen menggeleng lagi. Calvian hanya mengangguk saja. Ia paham kalau gadis itu tidak ingin membahas permasalahan yang terjadi antara dia dan Sang Ayah.

Mereka pun makan dalam keheningan. Bahkan sampai Calvian selesai membersihkan bekas makan mereka, Aileen tak juga bersuara.

“Lo mau kemana, Bang?” tanya Aileen tiba-tiba saat melihat pakaian Calvian yang sangat rapih.

“Sekolah.”

“Ngapain?”

“Kepo.”

“Ikut dong.”

“Anak kecil gak boleh ikut.”

“Bodo amat, gue ikut!” Aileen lantas berdiri dan mengambil pakaian dari lemarinya. “Bentar gue ganti baju dulu. JANGAN DITINGGAL!” teriaknya dari dalam kamar mandi.

Calvian menurut saja. Ia pun turun duluan dan melihat Javier yang masih tidak bergerak dari tempatnya.

Iseng, Calvian pun menghampirinya. “Om, lagi marahan?”

Javier melirik sekilas. “Enggak.”

“Masa, sih? Kok tumben diem-dieman?”

“Gak tau. Om didiemin dari kemarin.”

“Yah bener, marahan itu.”

Javier menggedikan bahu. “Kenapa sih, adek kamu?”

“Aku gak tau?”

Sumpah, Calvian saja juga bingung. Ketika baru datang, ia disuguhkan aura dingin dari rumah besar yang ditinggali sepupunya. Calvian tidak tahu apa-apa.

“Bang, ayo,” panggil Aileen dari balik punggung Javier.

“Kemana?” Bukan Calvian yang bertanya, tapi Javier.

Aileen yang mood-nya tidak jelas pun memilih diam. Akhirnya, Calvian yang menjawab pertanyaan tersebut.

“Ke sekolah, Om.”

“Ngapain?”

“Aku sih ada urusan. Tapi, Ai mau ngikut, yaudah aku ajak dari pada nangis.”

Mendengar jawaban asal Calvian, Aileen melayangkan pukulan pelan pada lengan laki-laki itu. Kalau tidak diajak pun tidak apa-apa, hanya saja ia sedang malas berada di rumah kalau Javier saja mendiamkannya.

Haduh, Bapak dan Anak ini sepertinya mengalami kesalahpahaman. Andai mereka mau menurunkan ego dan mulai bicara lebih dulu, pasti tidak ada perang dingin seperti ini.

Walaupun Javier pikir permasalahan mereka sepele, nyata Aileen tidak berpikir sederhana itu. Serius, Aileen benar-benar khawatir karier model yang Javier bangun dari umur 17 tahun runtuh begitu saja hanya karena ia ketahuan memiliki anak.

“Ayo ah, lama!” Aileen segera menarik tangan Calvian agar segera keluar dari rumah itu.

“Nanti, jangan lupa baikan sama Om Jav. Gitu-gitu juga Om Jav khawatir sama lo, Ai,” ucap Calvian sebelum ia menjalankan motornya.

Aileen yang ada di belakangnya hanya bergeming. Ia juga ingin baikan, tapi tidak tahu bagaimana caranya.