SATURDAYDIARY

Aileen mengutuk orang-orang yang pagi-pagi sudah mengganggu harinya. Tapi, ia tidak bisa menunjukan amarahnya kepada orang-orang yang telah memadati gerbang yayasan sekolahnya sepagi ini.

“Ai, mau pulang aja?” tanya Javier yang pagi itu mengantar Aileen sekolah.

Aileen menggeleng. “Lewat gerbang belakang aja.”

“Emang dibuka?”

“Minta bukain lah, kan ada ordal.”

Saat Javier ingin memutar balik mobilnya, seseorang yang sudah menunggu kedatangan dirinya dan Aileen menangkap pergerakannya. Sontak, semua orang-orang itu berputar dan berlari mengerumuni mobilnya.

“Aduh.” Javier memukul stir mobilnya. Hah, sepagi ini ia harus berurusan dengan wartawan.

Aileen sedikit panik melihat kerumunan yang ada di hadapannya. Ia melirik Javier yang sama frustasinya di balik kemudi.

Aileen menyadari suatu hal. Setelah ketahuan kalau Javier memiliki anak, hari-harinya tidak akan sama lagi. Harinya tidak akan setenang dulu. Ia harus beradaptasi dengan hari baru yang datang secara tidak disengaja ini.

“Ai? Pulang aja, ya?” Javier menatap khawatir kepada Putrinya yang kebingungan dengan situasi seperti ini.

Tapi, Aileen menjawab dengan gelengan. “Kemarin aku udah gak masuk, masa hari ini gak masuk juga?”

“Tapi, banyak wartawan, Ai.”

Aileen hanya bisa menghela napas berat. Sejujurnya, Aileen juga tak tau harus apa. Karena situasi ini benar-benar baru untuknya.

Ditengah kebingungan keduanya, seseorang datang membelah kerumunan dengan beberapa bodyguard yang membuat pagar betis di sisi pintu mobil Aileen.

Deandra memutar dan mengetuk kaca pintu kemudi. “Lo kenapa gak bilang kalo mau anter Aileen sekolah?”

Deandra datang sambil marah-marah. Tadi, saat pagi ia datang ke rumah Javier, Si Tuan Rumah sudah pergi. Kata Satpam, ia mengantar Aileen sekolah.

Wah, Deandra berpikir Javier cukup nekat dikeadaan sekarang.

Javier meringis. “Sorry, gue gak tau kalo bakal gini.”

Deandra hanya berdecak sebal. “Itu Aileen, kalo mau sekolah turun aja. Udah ada bodyguard sewaan gue yang jagain.”

Aileen yang mendengar ucapan Deandra pun tersenyum senang. Aileen kangen sekolah. Bukan sih, kangen Kak Zergan, haha.

Tanpa menunggu perintah, gadis itu membuka pintu dan turun. Sedetik kemudian, para wartawan berdorong-dorongan agar bisa mendapatkan wawancara dadakan darinya.

Tapi, Aileen justru berjalan santai. Ia membiarkan pada bodyguard sewaan Deandra bekerja sebagaimana mestinya.

Setelah sukses masuk ke dalam sekolah, ia menyempatkan diri berbalik menatap kerumunan di balik gerbang yayasan sekolahnya.

“Gini kali ya rasanya jadi artis. Pasti Om Papa sering kewalahan,” gumam gadis itu.

“EH?” Aileen tiba-tiba memegangi kepalanya seperti teringat sesuatu. “LUPA PAMITAN!”

Hampir saja gadis itu berlari lagi ke gerbang, tapi langkahnya ditahan oleh seseorang yang mencekal tangannya.

“Bloon lu, itu rame wartawan dodol. Mau diterjang gitu aja.”

Itu suara Calvian, tapi orang yang mencekal tangannya bukan Calvian.

Aileen mengganti cekalan itu menjadi genggaman. “Hitung-hitung modus sama Kak Zergan,” ucapnya dalam hati.

“Berisik, gue kan lupa.”

“Kayak gitu lo lupa. Gandengan gak lupa.”

Zergan melirik tangannya yang tiba-tiba sudah menggandeng tangan Aileen. Sumpah, ia tak tau menau soal gandengan tangan itu. Tapi, ia juga sama sekali tak ada niat melepasnya.

Aileen mengangkat kedua tangan mereka tinggi-tinggi. “Kenapa? Gak boleh? Truk aja gandengan, kok.”

“Emangnya lo truk?”

“Sensi banget, Cal. Masih pagi.”

Calvian melirik Leon yang berdiri di sebelahnya. “Itu namanya modus, Le.”

“Lo kalo mau gandengan juga bilang aja, Cal. Ini tangan gue dua-duanya kosong.”

“OGAH!”

Semuanya tertawa mendengar sahutan Calvian. Laki-laki itu pergi lebih dulu meninggalkan sepupunya bersama kedua temannya. Calvian mode ngambek.

Aileen masih terus menangis walaupun sudah berkali-kali Javier mengatakan, “Gak papa.”

Tubuhnya yang sedang dalam kondisi kurang sehat ia gunakan untuk menangis sampai napasnya tersendat. Matanya sudah bengkak, bahkan air matanya sudah tidak lagi mengalir. Tapi, gadis itu masih ingin menangis karena rasa bersalahnya yang teramat besar.

Ini yang Aileen khawatirkan dari dulu. Gadis itu takut kalau keberadaannya justru mengganggu karier dan masa depan Javier. Padahal, Aileen hanya keponakan yang kebetulan diurus oleh Javier karena Orang Tuanya telah tiada.

Aileen menarik napasnya susah payah, membuat Javier khawatir kalau gadis itu kesulitan bernapas. Ia sudah terlalu banyak menangis.

Javier yang awalnya hanya memerhatikan gadis itu menangis pun menariknya ke dalam pelukan. “Aileen, anak baik, udah ya nangisnya? Kan tadi udah janji gak akan nangis lagi.”

“Tah-pi, gara-gara akh-u Om Papa jadih gih-ni.” Suaranya serak, bicaranya putus-putus. Aileen benar-benar kelelahan menangis.

“Papa gak papa, gak ada apa-apa juga. Kamu jangan terlalu khawatir. Semuanya baik-baik aja.”

“Ma-af.” Berkali-kali gadis itu menggumamkan kata maaf, membuat Javier tidak enak hati.

Dipeluknya Aileen semakin erat supaya gadis itu lebih tenang. Javier khawatir kalau Aileen jadi sakit lagi. Anak itu, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan semalem, panas tubuhnya hampir 40 derajat.

“Udah ya nangisnya, nanti kamu capek.”

Aileen mengangguk, tapi isakannya tidak bisa membohongi Javier. Ya sudah, biar saja Putrinya menangis sampai puas. Kalau sakit lagi pun, Javier siap dan sanggup mengurusnya.

Javier menepuk-nepuk pundak yang masih bergetar itu pelan. Aileen jauh lebih tenang di dalam pelukannya dari sebelumnya. Napasnya perlahan normal, tapi tubuhnya sangat lemas. Javier melirik sebentar dan melihat gadis itu memejamkan mata bengkaknya.

Laki-laki itu menghela napas lega. Lebih bagus Aileen tertidur dari pada terus menangis.

Walaupun tangannya pegal karena harus menahan berat Aileen yang perlahan terlelap dalam peluknya, Javier masih berusaha untuk tegak agar gerak tubuhnya tidak mendistraksi Putrinya.

Setelah memastikan gadis itu pulas, Javier perlahan memindahkannya ke tempat tidur. Ia menarik selimut sampai sebatas leher agar dinginnya air conditioner tidak membuat Putrinya yang kembali sakit menggigil.

Javier menghela napas berat. Barusan, ia memegang dahi Aileen, dan ya, tubuhnya panas lagi. Ia berjalan keluar mengambil air untuk mengompres.

“Jav, lo dimana?” teriak seseorang yang tiba-tiba memasuki rumahnya.

“Dean anjing, anak gue baru tidur,” balas Javier sambil memelankan suaranya.

Deandra berdiri kikuk. “Sorry, gue gak tau.”

“Kenapa?”

“Ini, gue mau ngomongin kasus lo yang ketauan punya anak.”

“Oh.” Javier mengangguk, kemudian ia menyuruh Deandra ke ruang kerjanya lebih dulu. “Lo ke ruang kerja gue dulu aja. Gue mau ambil air buat kompres Aileen, badannya panas lagi.”

Deandra langsung menurut. Sebelum ia benar-benar masuk ke dalam ruangan, diperhatikannya punggung tegap yang perlahan mengecil seiring langkahnya menuju dapur.

“Lo baik banget Jav, Aileen beruntung ada lo di sisinya,” gumam Deandra yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Pagi-pagi sekali, Aileen sudah menempeli Deandra kesana kemari, tapi bukan mencari alamat. Deandra sedang kerja. Aileen yang tidak mau ditinggal di hotel sendirian memilih mengikuti Deandra kemanapun laki-laki itu pergi.

“Om, kok Om Papa photoshoot-nya sama Om Johnat?”

“Gak tau, kan bukan saya yang milih model majalahnya.”

Aileen menyeruput cokelat panasnya sesekali sebelum berbicara. “Om Dean kenapa gak jadi model juga?”

“Nanti Papa kamu kalah saing,” sahut Deandra dengan percaya diri.

Aileen hanya menaikan sebelah bibir dan alisnya seolah berkata, 'Percaya diri sekali Om-om ini.'

“Itu sarapannya dimakan juga, kalo enggak nanti saya yang dimakan Papa kamu.” Deandra langsung menyodorkan piring berisi roti bakar yang ia pesan bersamaan dengan cokelat panas milik Aileen.

Gadis itu menggeleng kecil. “Nanti aja, aku gak mood sarapan.”

Deandra sempat berdecak kecil. “Gak Bapak gak Anak sama-sama moody-an.”

Deandra berdiri dari tempatnya. “Saya kesana dulu.” Tunjuknya ke arah tempat Javier dan Johnat yang sedang melakukan photoshoot. “Kamu tunggu sini aja, jangan ikut mondar-mandir nanti capek.”

Aileen hanya mengangguk. Ia pun malas juga kalau terus-terusan mengikuti Deandra. Capek. Kakinya kalau kebanyakan jalan bisa berubah jadi jeli.

“Wah, seksi banget ya mereka.”

Aileen melirik dua staff perempuan yang asik menilai penampilan Javier dan Johnat. Gadis itu jadi ikut-ikutan memperhatikan kedua pria dewasa itu.

'Anjrit, ini dosa gak sih gue pagi-pagi liat roti sobek difoto-foto gitu?” ucap Aileen dalam hatinya.

Feeliing Aileen sudah benar kemarin mengenai photoshoot Javier dan Johnat. Ah, rasanya ia ingin pulang saja dan memilih bersekolah.

“Kalo sekolah bisa ketemu Kak Zergan. Kalo di sini, dapet dosa gue,” keluh Aileen sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pagi-pagi sekali, Aileen sudah menempeli Deandra kesana kemari, tapi bukan mencari alamat. Deandra sedang kerja. Aileen yang tidak mau ditinggal di hotel sendirian memilih mengikuti Deandra kemanapun laki-laki itu pergi.

“Om, kok Om Papa photoshoot-nya sama Om Johnat?”

“Gak tau, kan bukan saya yang milih model majalahnya.”

Aileen menyeruput cokelat panasnya sesekali sebelum berbicara. “Om Dean kenapa gak jadi model juga?”

“Nanti Papa kamu kalah saing,” sahut Deandra dengan percaya diri.

Aileen hanya menaikan sebelah bibir dan alisnya seolah berkata, 'Percaya diri sekali Om-om ini.'

“Itu sarapannya dimakan juga, kalo enggak nanti saya yang dimakan Papa kamu.” Deandra langsung menyodorkan piring berisi roti bakar yang ia pesan bersamaan dengan cokelat panas milik Aileen.

Gadis itu menggeleng kecil. “Nanti aja, aku gak mood sarapan.”

Deandra sempat berdecak kecil. “Gak Bapak gak Anak sama-sama moody-an.”

Deandra berdiri dari tempatnya. “Saya kesana dulu.” Tunjuknya ke arah tempat Javier dan Johnat yang sedang melakukan photoshoot. “Kamu tunggu sini aja, jangan ikut mondar-mandir nanti capek.”

Aileen hanya mengangguk. Ia pun malas juga kalau terus-terusan mengikuti Deandra. Capek. Kakinya kalau kebanyakan jalan bisa berubah jadi jeli.

“Wah, seksi banget ya mereka.”

Aileen melirik dua “staff” perempuan yang asik menilai penampilan Javier dan Johnat. Gadis itu jadi ikut-ikutan memperhatikan kedua pria dewasa itu.

'Anjrit, ini dosa gak sih gue pagi-pagi liat roti sobek difoto-foto gitu?” ucap Aileen dalam hatinya.

Feeliing Aileen sudah benar kemarin mengenai photoshoot Javier dan Johnat. Ah, rasanya ia ingin pulang saja dan memilih bersekolah.

“Kalo sekolah bisa ketemu Kak Zergan. Kalo di sini, dapet dosa gue,” keluh Aileen sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aileen turun pelan-pelan dari motor besar milik Zergan. Ah, jujur saja Aileen kurang suka motor model seperti milik Zergan. Ribet, katanya.

Dulu, Om Papanya juga suka pakai motor seperti itu. Tapi, tidak lagi setelah Aileen ngomel-ngomel karena mengeluh motor itu terlalu tinggi untuknya. Padahal, Aileen juga tidak pendek, kok. Cuma, gadis itu memang gak mau ribet saja.

Tapi, pengecualian untuk Zergan. Karena dia ganteng, kata Aileen.

“Mau mampir dulu, Kak?”

Sebenarnya Aileen hanya basa basi saja, sih. Ia tahu kalau di rumah sudah ada Javier yang pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Bahaya kalau ia tahu Aileen pulang sekolah diantar oleh cowok. Bisa-bisa Zergan diintrogasi panjang kali lebar oleh Om Papa. Aileen berharap Zergan menolak tawarannya.

“Gak usah, Ai. Langsung pulang aja.”

YES! Tentu saja Aileen bersorak dalam hatinya. Tapi, sebisa mungkin ia melanjurkan basa basinya agar terlihat lebih natural.

“Bener, nih?”

Zergan menjawab dengan anggukan. Kemudian laki-laki itu memakai helmnya kembali.

“Yaudah, hati-hati ya, Kak.”

Zergan mengangguk sekali lagi sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya.

“DOR!”

“ARGHH!”

Rasanya Aileen ingin melayangkan pukulan kepada orang yang berani-beraninya mengejutkannya.

“NGAPAIN SIH?”

“Gue cariin ternyata lo pulang sama Zergan.”

Itu suara Calvian. Entah apa yang Sepupunya lakukan saat ini di depan rumahnya. Bukannya langsung pulang.

“Kak Zergan yang nawarin pulang bareng.”

Calvian hanya mengangguk-angguk saja. Pura-pura mengerti, padahal ia paham itu hanya modus. Entah temannya atau sepupunya yang modus.

“Lo ngapain kesini?”

“Gak tau, dipanggil Bapak lo.”

Calvian masuk lebih dulu ke dalam rumah, meninggalkan Aileen beberapa langkah di belakangnya.

Aileen berlari kecil menyusul langkah Calvian. “Ngapain Om Papa nyuruh lo kesini?”

Calvian menggedikan bahunya. “Ya mana gue tau?”

Ketika Calvian membuka pintu utama, mereka dikejutkan dengan sosok Javier yang sudah berdiri di balik pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Om,” sapa Calvian berusaha menghilangkan kecanggungan yang datang secara tiba-tiba.

Sedangkan Aileen, gadis itu berusaha menormalkan degup jantungnya karena dikejutkan dua kali berturut-turut.

Javier menatap Calvian serius. “Cal, Ai punya pacar, ya?”

“Gak tau. Tapi, dia lagi deketin cowok.”

“CALVIAN BACOT!”

Ini Sabtu pagi, dan tumben sekali Aileen sudah bangun. Sudah mandi juga. Ayo, beri tepuk tangan. Karena tidak biasanya gadis itu bangun pagi di hari Sabtu.

Katanya, “Hari pertama weekend, ayo kita males-malesan aja.”

Tapi, karena ia lupa makan malam semalam dan tidur lebih cepat dari biasanya, Aileen jadi harus bangun pagi dengan perut keroncongan.

Aileen sudah menyuruh Calvian untuk membelikannya sarapan, sih. Tapi, entah di mana Sepupunya itu membeli sarapan. Aileen berdecak, “Ck! Lama.”

Lima menit kemudian, tak lama setelah Aileen menggerutu, Calvian datang membawakan sarapan.

“Rumah lo dingin banget,” ucap Calvian sambil menyerahkan bungkusan makanan.

“Hah? Enggak ah, biasa aja.”

“Maksudnya suasananya.” Calvian duduk di sebelah Aileen sambil ikut sarapan. “Lo lagi marahan sama Om Jav?” lanjut laki-laki itu penuh penasaran.

Aileen hanya menjawab dengan gelengan. Calvian tidak percaya. Jelas-jelas tadi saat ia masuk dan bertemu Javier di ruang tengah, Papa Muda itu hanya melamun dengan aura dingin yang mengelilinginya. Saat ditanya tentang Aileen, Javier pun menjawab tanpa minat.

“Boong, ya?”

Aileen menggeleng lagi. Calvian hanya mengangguk saja. Ia paham kalau gadis itu tidak ingin membahas permasalahan yang terjadi antara dia dan Sang Ayah.

Mereka pun makan dalam keheningan. Bahkan sampai Calvian selesai membersihkan bekas makan mereka, Aileen tak juga bersuara.

“Lo mau kemana, Bang?” tanya Aileen tiba-tiba saat melihat pakaian Calvian yang sangat rapih.

“Sekolah.”

“Ngapain?”

“Kepo.”

“Ikut dong.”

“Anak kecil gak boleh ikut.”

“Bodo amat, gue ikut!” Aileen lantas berdiri dan mengambil pakaian dari lemarinya. “Bentar gue ganti baju dulu. JANGAN DITINGGAL!” teriaknya dari dalam kamar mandi.

Calvian menurut saja. Ia pun turun duluan dan melihat Javier yang masih tidak bergerak dari tempatnya.

Iseng, Calvian pun menghampirinya. “Om, lagi marahan?”

Javier melirik sekilas. “Enggak.”

“Masa, sih? Kok tumben diem-dieman?”

“Gak tau. Om didiemin dari kemarin.”

“Yah bener, marahan itu.”

Javier menggedikan bahu. “Kenapa sih, adek kamu?”

“Aku gak tau?”

Sumpah, Calvian saja juga bingung. Ketika baru datang, ia disuguhkan aura dingin dari rumah besar yang ditinggali sepupunya. Calvian benar-benar tidak tahu apa-apa.

“Bang, ayo,” panggil Aileen dari balik punggung Javier.

“Kemana?” Bukan Calvian yang bertanya, tapi Javier.

Aileen yang mood-nya tidak jelas pun memilih diam. Akhirnya, Calvian yang menjawab pertanyaan tersebut.

“Ke sekolah, Om.”

“Ngapain?”

“Aku sih ada urusan. Tapi, Ai mau ngikut, yaudah aku ajak aja dari pada nangis.”

Mendengar jawaban asal Calvian, Aileen melayangkan pukulan pelan pada lengan laki-laki itu. Kalau tidak diajak pun tidak apa-apa, hanya saja ia sedang malas berada di rumah kalau Javier saja mendiamkannya.

Haduh, Bapak dan Anak ini sepertinya mengalami kesalahpahaman. Andai mereka mau menurunkan ego dan mulai bicara lebih dulu, pasti tidak ada perang dingin seperti ini.

Walaupun Javier pikir permasalahan mereka sepele, nyata Aileen tidak berpikir sederhana itu. Serius, Aileen benar-benar khawatir karier model yang Javier bangun dari umur 17 tahun runtuh begitu saja hanya karena ia ketahuan memiliki anak.

“Ayo ah, lama!” Aileen segera menarik tangan Calvian agar segera keluar dari rumah itu.

“Nanti, jangan lupa baikan sama Om Jav. Gitu-gitu juga Om Jav khawatir sama lo, Ai,” ucap Calvian sebelum ia menjalankan motornya.

Aileen yang ada di belakangnya hanya bergeming. Ia juga ingin baikan, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Ini Sabtu pagi, dan tumben sekali Aileen sudah bangun. Sudah mandi juga. Ayo, beri tepuk tangan. Karena tidak biasanya gadis itu bangun pagi di hari Sabtu.

Katanya, “Hari pertama weekend, ayo kita males-malesan aja.”

Tapi, karena ia lupa makan malam semalam dan tidur lebih cepag dari biasanya, Aileen jadi harus bangun pagi dengan perut keroncongan.

Aileen sudah menyuruh Calvian untuk membelikannya sarapan, sih. Tapi, entah di mana Sepupunya itu membeli sarapan.

Lima menit kemudian, tak lama setelah Aileen menggerutu, Calvian datang membawakan sarapan.

“Rumah lo dingin banget,” ucap Calvian sambil menyerahkan bungkusan makanan.

“Hah? Enggak ah, biasa aja.”

“Maksudnya suasananya.” Calvian duduk di sebelah Aileen sambil ikut sarapan. “Lo lagi marahan sama Om Jav?” lanjut laki-laki itu penuh penasaran.

Aileen hanya menjawab dengan gelengan. Calvian tidak percaya. Jelas-jelas tadi saat ia masuk dan bertemu Javier di ruang tengah, Papa Muda itu hanya melamun dengan aura dingin yang mengelilinginya. Saat ditanya tentang Aileen, Javier pun menjawab tanpa minat.

“Boong, ya?”

Aileen menggeleng lagi. Calvian hanya mengangguk saja. Ia paham kalau gadis itu tidak ingin membahas permasalahan yang terjadi antara dia dan Sang Ayah.

Mereka pun makan dalam keheningan. Bahkan sampai Calvian selesai membersihkan bekas makan mereka, Aileen tak juga bersuara.

“Lo mau kemana, Bang?” tanya Aileen tiba-tiba saat melihat pakaian Calvian yang sangat rapih.

“Sekolah.”

“Ngapain?”

“Kepo.”

“Ikut dong.”

“Anak kecil gak boleh ikut.”

“Bodo amat, gue ikut!” Aileen lantas berdiri dan mengambil pakaian dari lemarinya. “Bentar gue ganti baju dulu. JANGAN DITINGGAL!” teriaknya dari dalam kamar mandi.

Calvian menurut saja. Ia pun turun duluan dan melihat Javier yang masih tidak bergerak dari tempatnya.

Iseng, Calvian pun menghampirinya. “Om, lagi marahan?”

Javier melirik sekilas. “Enggak.”

“Masa, sih? Kok tumben diem-dieman?”

“Gak tau. Om didiemin dari kemarin.”

“Yah bener, marahan itu.”

Javier menggedikan bahu. “Kenapa sih, adek kamu?”

“Aku gak tau?”

Sumpah, Calvian saja juga bingung. Ketika baru datang, ia disuguhkan aura dingin dari rumah besar yang ditinggali sepupunya. Calvian tidak tahu apa-apa.

“Bang, ayo,” panggil Aileen dari balik punggung Javier.

“Kemana?” Bukan Calvian yang bertanya, tapi Javier.

Aileen yang mood-nya tidak jelas pun memilih diam. Akhirnya, Calvian yang menjawab pertanyaan tersebut.

“Ke sekolah, Om.”

“Ngapain?”

“Aku sih ada urusan. Tapi, Ai mau ngikut, yaudah aku ajak dari pada nangis.”

Mendengar jawaban asal Calvian, Aileen melayangkan pukulan pelan pada lengan laki-laki itu. Kalau tidak diajak pun tidak apa-apa, hanya saja ia sedang malas berada di rumah kalau Javier saja mendiamkannya.

Haduh, Bapak dan Anak ini sepertinya mengalami kesalahpahaman. Andai mereka mau menurunkan ego dan mulai bicara lebih dulu, pasti tidak ada perang dingin seperti ini.

Walaupun Javier pikir permasalahan mereka sepele, nyata Aileen tidak berpikir sederhana itu. Serius, Aileen benar-benar khawatir karier model yang Javier bangun dari umur 17 tahun runtuh begitu saja hanya karena ia ketahuan memiliki anak.

“Ayo ah, lama!” Aileen segera menarik tangan Calvian agar segera keluar dari rumah itu.

“Nanti, jangan lupa baikan sama Om Jav. Gitu-gitu juga Om Jav khawatir sama lo, Ai,” ucap Calvian sebelum ia menjalankan motornya.

Aileen yang ada di belakangnya hanya bergeming. Ia juga ingin baikan, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Calvian langsung masuk ke rumah Javier tanpa mengetuk pintu dahulu. Ia tahu kalau di dalam rumah hanya ada Aileen yang sedang sekarat —kata gadis itu sendiri.

Sudah biasa Calvian menghadapi Aileen yang seperti ini setiap bulannya. Bahkan, ia cukup hapal kapan masanya Aileen datang bulan. Hebat, kan? Cowok se-perfect Calvian bisa ditemukan di mana lagi jaman sekarang? Susah.

Di tangan kanannya terdapat bungkusan McD pesanan Aileen. Calvian ingin mengantarkan makanan itu langsung, namun kakinya justru berbelok ke arah dapur.

Ia melihat ada sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atas meja makan. Piring itu masih tergeletak rapih seolah tak tersentuh sama sekali. Calvian pun mengambil nampan dan menaruh piring itu di atasnya beserta pesanan Aileen lainnya.

Ia pun segera naik menuju kamar Aileen sebelum gadis itu mengamuk di chat. Aileen kalau sedang datang bulan, marahnya lebih seram.

Calvian mengetuk dua kali pintu kamar Sepupunya. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung masuk. Dilihatnya Aileen yang sedang berbaring dengan kasur yang berantakan. Kepalanya menggantung di ujung kasur dengan rambut panjangnya yang terurai.

Ia melihat kedatangan Calvian dengan arah yang terbalik. “Lama,” ucapnya tanpa tenaga.

Aileen malas bergerak kalau sedang sakit. Jadi, Calvian menaruh nampan yang dibawanya di nakas dekat tempat tidur gadis itu. Tangannya mengangkat kepala Aileen dan memindahkannya ke posisi yang benar.

“Nanti leher lo sakit.”

Aileen merubah posisinya menjadi duduk. “Mana? Bubur.”

“Bubur gak ada. Tapi, tadi gue liat itu nasi goreng di meja makan. Kayaknya Om Jav yang buat.”

Aileen melirik tak tertarik ke arah nasi goreng tersebut. Ia lupa kalau tadi Om Papa-nya bilang sudah membuatkan sarapan. Dengan tangan yang tidak bertenaga, ia meraih piring tersebut dan memakannya.

“Perut lo masih sakit?”

Aileen mengangguk pelan sambil mengunyah.

“Yaudah, makan dulu. Biar gue ambilin air hangat.”

Calvian langsung berdiri dan kembali ke dapur. Ia membawakan kompres air hangat untuk Aileen.

Saat ingin kembali ke kamar, ponsel Calvian yang berada di sakunya berdering. Pelaku yang melakukan panggilan adalah temannya.

“Halo?”

“Cal, main gak?”

“Gak tau nih, adek gue lagi sakit.”

“Yaelah, Cal. Main bentar doang kali.”

“Duluan deh, nanti gue nyusul kalo dia bisa ditinggal.”

“Kalo enggak bisa, lo gue samperin ya?”

“Jangan anjing. Iya dah, nanti gue main.”

Panggilan terputus sepihak. Calvian mengantungi ponselnya lagi dan bergegas ke kamar Aileen. Tapi, ia malah bertemu gadis itu di tangga.

“Mau main?”

Calvian mengangguk. “Lo mau ngapain?”

Aileen mengangkat piring yang di bawa olehnya.

“Sini gue aja yang taruh. Nih.” Calvian mengambil piring dari Aileen dan menyerahkan kompres kepada gadis itu.

Aileen kembali ke kamar dan berbaring setengah duduk sambil mengompres perutnya. Calvian pun ikut berbaring di sebelah gadis itu sambil memainkan ponselnya.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang ditaruh di atas perutnya. Calvian melirik Aileen dan cheese burger yang tadi diberikan.

Gadis itu membagi satu cheese burger padanya disaat seperti ini. Pasti ada sesuatu.

“Jangan main.”

Tuhkan, Calvian sudah bisa menebaknya.

“Om Papa belum pulang.”

Calvian duduk dan membuka cheese burger itu. “Iya.”

Tak ada yang berbicara lagi setelah Calvian menjawab. Mereka makan cheese burger dalam keadaan hening. Hingga akhirnya Aileen tertidur, mungkin karena kekenyangan.

Aileen sampai di rumahnya sepuluh menit lebih lambat dari Calvian. Saat memasuki rumah, ia sudah melihat Calvian yang duduk manis di sofa ruang tengah sambil menyelonjorkan kakinya. Kakak Sepupunya itu melambaikan tangan sambil tersenyum penuh arti.

Buru-buru Aileen menghampirinya dan duduk di sampingnya sambil menatap Calvian penuh intimidasi.

“Lo udah ngadu ke Om Papa ya, Bang?” tanya Aileen langsung tanpa mengambil napas dahulu.

Calvian menggeleng sambil masih tersenyum. “Belum, hehe.”

Akhirnya, Aileen bisa bernapas lega— Belum, ketika ia melihat Calvian menegakkan posisi duduknya ketika Javier datang. Aileen melotot ke arah Calvian yang semakin cengengesan.

“Om,” panggil Calvian, memancing atensi Aileen.

Sebenarnya, Aileen tidak perlu terlalau panik. Karena Calvian hanya bercanda. Sekalipun serius, yang diadukan pada Javier hanyalah masalah sepele.

Tapi, Aileen merasa tidak enak hati ketika ketahuan berbicara kasar oleh Javier. Pasalnya, Om Papa-nya itu tidak pernah mengajarinya berbicara kasar. Tapi, pergaulan remaja saat ini terlalu bebas. Untungnya Aileen masih bisa memilah mana yang baik dan buruk.

“Apa? Mau minta tambahan duit jajan lagi?”

Calvian menggeleng. “Tapi, kalo Om Jav mau ngasih sih aku terima dengan senang hati.”

“Sama duit aja cepet banget.”

“Jaman sekarang siapa sih yang gak mau duit?”

Javier tidak menyahuti ucapan Calvian lagi. Ia berjalan ke arah dapur, meninggalkan dua muda mudi itu berdua saja di ruang tengah.

Aileen terus menatap tajam ke arah Calvian. Sejujurnya, Calvian sedikit terintimidasi. Tapi, ia tetap tersenyum mengejek Adik Sepupunya itu.

“Kenapa sih, Ai?”

“Jangan ngadu!”

“Hahaha, enggak. Kalo ada yang buat tutup mulut.”

Aileem berdecak sebal. “Mau apa?”

Calvian pura-pura berpikir. Matanya menatap langit-langit rumah Aileen sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya pelan.

“Besok pulang bareng gue.”

“Ngapain?”

“Ada yang ngajak gue nonton pulang sekolah.”

Aileen sedikit tertarik dengan pembicaraan. Ia menggeser tubuhnya agar mendekat kepada Calvian.

“Siapa?”

“Ada, cewek.”

“Gue bakalan kaget kalo yang ngajak cowok, sih.” Aileen menatap Calvian menyelidik. “Bang, lo normal kan?”

Calviam mendorong Aileen agar menjauh darinya. “Normal, lah! Gue masih suka cewek kali.”

Aileen tertawa pelan. “Kalo gitu kenapa gak mau diajak nonton?”

“Siapa yang gak mau?”

“Lo. Kalo lo mau pasti besok gak akan ngajak gue pulang bareng.”

“Bukan gak mau, gue lagi males aja.”

“Halah.”

Percakapan mereka terhenti ketika Javier kembali membawa dua tas berbeda ukuran di masing-masing tangannya.

“Apa itu, Om?” tanya Calvian penuh rasa penasaran.

“Oleh-oleh.” Javier duduk di hadapan keduanya. Ia menyerahkan tas yang berukuran kecil kepada Calvian. “Nih, buat kamu.”

“Asiikk. Apa nih?” Calvian langsung membuka tas tersebut untuk melihat isinya. Bukan barang yang spesial, hanya jersey bola club favorit Calvian dan sepatu saja. Tapi, Calvian senang ketika seluruh keluarga besarnya selalu mengingat untuk membawakan oleh-oleh untuk satu sama lain jika berpergian.

Calvian mengalihkan atensinya kepada tas yang berukuran lebih besar dari pada yang dipegang. “Kalo itu apa, Om?”

“Oleh-oleh juga, buat Mommy sama Papi kamu.”

“Kok gede banget?” protes Calvian, sedikit tidak terima karena tasnya berukuran lebih kecil.

“Ngiri aja kamu. Ini kan buat berdua.”

Calvian mengintip sedikit isi tas tersebut. “Isinya apa, Om?”

“Anak kecil gak usah kepo. Itu titipan Mommy kamu.”

Calvian hanya mengangguk saja. Ia kemudian berdiri dan berpamitan. Sebelum keluar, ia menyempatkan diri untuk meledek Aileen lagi melalui Javier.

“Om,” panggilnya sambil melirik Aileen.

Aileen yang tidak mengerti hanya mengangkat sebelah alisnya sambil menatap bingung. Begitupun Javier.

“Apa lagi, Cal?”

“Masa Aileen-” Calvian sengaja menggantungkan kalimatnya untuk melihat reaksi Aileen. Benar saja, gadis itu langsung membesarkan matanya dan mengancam laki-laki itu melalui tatapannya.

“Masa?”

“Aileen dideketin cowok.”

Segera setelah menyelesaikan kalimatnya, Calvian langsung lari keluar. Nyawanya bukan hanya terancam oleh Sang Sepupu tapi juga oleh Om-nya.

“CALVIAN BACOT!”

“SIAPA COWOKNYA, CAL?!”

Teriak Aileen dan Javier bersamaan.

Aileen sampai di rumahnya sepuluh menit lebih lambat dari Calvian. Saat memasuki rumah, ia sudah melihat Calvian yang duduk manis di sofa ruang tengah sambil menyelonjorkan kakinya. Kakak Sepupunya itu melambaikan tangan sambil tersenyum penuh arti.

Buru-buru Aileen menghampirinya dan duduk di sampingnya sambil menatap Calvian penuh intimidasi.

“Lo udah ngadu ke Om Papa ya, Bang?” tanya Aileen langsung tanpa mengambil napas dahulu.

Calvian menggeleng sambil masih tersenyum. “Belum, hehe.”

Akhirnya, Aileen bisa bernapas lega— Belum, ketika ia melihat Calvian menegakkan posisi duduknya ketika Javier datang. Aileen melotot ke arah Calvian yang semakin cengengesan.

“Om,” panggil Calvian, memancing atensi Aileen.

Sebenarnya, Aileen tidak perlu terlalau panik. Karena Calvian hanya bercanda. Sekalipun serius, yang diadukan pada Javier hanyalah masalah sepele.

Tapi, Aileen merasa tidak enak hati ketika ketahuan berbicara kasar oleh Javier. Pasalnya, Om Papa-nya itu tidak pernah mengajarinya berbicara kasar. Tapi, pergaulan remaja saat ini terlalu bebas. Untungnya Aileen masih bisa memilah mana yang baik dan buruk.

“Apa? Mau minta tambahan duit jajan lagi?”

Calvian menggeleng. “Tapi, kalo Om Jav mau ngasih sih aku terima dengan senang hati.”

“Sama duit aja cepet banget.”

“Jaman sekarang siapa sih yang gak mau duit?”

Javier tidak menyahuti ucapan Calvian lagi. Ia berjalan ke arah dapur, meninggalkan dua muda mudi itu berdua saja di ruang tengah.

Aileen terus menatap tajam ke arah Calvian. Sejujurnya, Calvian sedikit terintimidasi. Tapi, ia tetap tersenyum mengejek Adik Sepupunya itu.

“Kenapa sih, Ai?”

“Jangan ngadu!”

“Hahaha, enggak. Kalo ada yang buat tutup mulut.”

Aileem berdecak sebal. “Mau apa?”

Calvian pura-pura berpikir. Matanya menatap langit-langit rumah Aileen sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya pelan.

“Besok pulang bareng gue.”

“Ngapain?”

“Ada yang ngajak gue nonton pulang sekolah.”

Aileen sedikit tertarik dengan pembicaraan. Ia menggeser tubuhnya agar mendekat kepada Calvian.

“Siapa?”

“Ada, cewek.”

“Gue bakalan kaget kalo yang ngajak cowok, sih.” Aileen menatap Calvian menyelidik. “Bang, lo normal kan?”

Calviam mendorong Aileen agar menjauh darinya. “Normal, lah! Gue masih suka cewek kali.”

Aileen tertawa pelan. “Kalo gitu kenapa gak mau diajak nonton?”

“Siapa yang gak mau?”

“Lo. Kalo lo mau pasti besok gak akan ngajak gue pulang bareng.”

“Bukan gak mau, gue lagi males aja.”

“Halah.”

Percakapan mereka terhenti ketika Javier kembali membawa dua tas berbeda ukuran di masing-masing tangannya.

“Apa itu, Om?” tanya Calvian penuh rasa penasaran.

“Oleh-oleh.” Javier duduk di hadapan keduanya. Ia menyerahkan tas yang berukuran kecil kepada Calvian. “Nih, buat kamu.”

“Asiikk. Apa nih?” Calvian langsung membuka tas tersebut untuk melihat isinya. Bukan barang yang spesial. Tapi, Calvian senang ketika seluruh keluarga besarnya selalu mengingat untuk membawakan oleh-oleh untuk satu sama lain jika berpergian.

Calvian mengalihkan atensinya kepada tas yang berukuran lebih besar dari pada yang dipegang. “Kalo itu apa, Om?”

“Oleh-oleh juga, buat Mommy sama Papi kamu.”

“Kok gede banget?” protes Calvian, sedikit tidak terima karena tasnya berukuran lebih kecil.

“Ngiri aja kamu. Ini kan buat berdua.”

Calvian mengintip sedikit isi tas tersebut. “Isinya apa, Om?”

“Anak kecil gak usah kepo. Itu titipan Mommy kamu.”

Calvian hanya mengangguk saja. Ia kemudian berdiri dan berpamitan. Sebelum keluar, ia menyempatkan diri untuk meledek Aileen lagi melalui Javier.

“Om,” panggilnya sambil melirik Aileen.

Aileen yang tidak mengerti hanya mengangkat sebelah alisnya sambil menatap bingung. Begitupun Javier.

“Apa lagi, Cal?”

“Masa Aileen-” Calvian sengaja menggantungkan kalimatnya untuk melihat reaksi Aileen. Benar saja, gadis itu langsung membesarkan matanya dan mengancam laki-laki itu melalui tatapannya.

“Masa?”

“Aileen dideketin cowok.”

Segera setelah menyelesaikan kalimatnya, Calvian langsung lari keluar. Nyawanya bukan hanya terancam oleh Sang Sepupu tapi juga oleh Om-nya.

“CALVIAN BACOT!”

“SIAPA COWOKNYA, CAL?!”

Teriak Aileen dan Javier bersamaan.