SATURDAYDIARY

Alternative Universe by SATURDAYDIARY


CW // Accident TW // Family Issues

“Nih, kue buat Masnya.” seseorang menyodorkan sebuah wadah berbentuk kotak yang berisikan sepotong kue kepadanya.

Anggara yang baru saja kembali setelah menolong seorang anak kecil yang terjatuh di taman rumah sakit menatap orang itu dengan pandangan bingung. Sepuluh menit sebelumnya, orang itu dengan percaya dirinya meminta Anggara sedikit bergeser dari tempat duduknya.

“Permisi, Mas. Boleh geser sedikit gak? Kursi yang lain penuh, Masnya doang yang duduk sendirian di sini,” kata gadis itu.

Anggara yang memang tidak ingin ambil pusing segala hal pun bergeser, ia bahkan bergeser sampai ke ujung kursi, membuat gadis itu menjadi sedikit merasa canggung. Hanya ada keheningan yang menyelimuti keduanya. Bagi Anggara gadis di sebelahnya hanya orang asing, yang akan berlalu ketika urusannya di situ telah usai. Jadi ia tidak perlu mengajaknya bicara, atau memang dasarnya Anngara tidak banyak bicara.

Hari ini sangat berat untuk Anggara. Benar-benar tak terbayangkan olehnya, kalau hari ulang tahunnya yang ke-17 akan menjadi seperti ini. Harusnya, sekarang ia makan malam bersama Mamanya. Tapi malam ini, Mamanya harus berjuang melawan semua rasa sakit demi bertahan hidup.

“Mas!” gadis di sebelahnya memanggilnya lagi. Ia masih menyodorkan kotak di tangannya kepada Anggara karena laki-laki itu tak kunjung menerimanya.

“Gak saya racunin kok. Tadi beliin itu buat Mas saya yang kebetulan dokter di sini. Tapi dia gak mau, katanya gak suka makanan manis. Padahal saya udah effort banget itu minta abang ojol mampir-mampir dulu ke toko kue sampe saya dimarahin sama abangnya.” Gadis itu terus menyerocos tanpa peduli Anggara mendengarkannya atau tidak.

“Ini Mas, buat Masnya aja,” ucap gadis itu lagi.

Anggara ingin menerimanya, tapi ketika tangannya terulur tiba-tiba ia mendapatkan sebuah notifikasi dari ponselnya.

Makan malam sama mama (Ulang tahun gue)

Notifikasi itu membuat Anggara merematkan tangannya. Makan malam itu sudah batal, dan tidak ada ucapan selamat ulang tahun dari Mamanya malam ini.

“Tuh kan! Kebetulan juga Masnya ulang tahun. Ini terima aja kuenya, tapi gak ada lilinnya, Mas, jadi gak bisa tiup lilin deh.”

Anggara menatap gadis di sebelahnya dengan tatapan sinis. Sedangkan gadis itu hanya nyengir tanpa dosa karena telah ketahuan mengintip ponsel Anggara.

“Selamat Ulang tahun, ya, Mas! Saya do'a-in yang baik-baik aja buat Masnya, hehe.”

Gadis itu kemudian berdiri dan melangkah pergi dengan terburu-buru. Ia memilih kabur dan meninggalkan kotak kue itu di sebelah Anggara sebelum laki-laki itu memarahinya karena mengintip tadi.

“Alyssa ayo pulang! Nanti keburu malem!” teriak gadis itu sambil memanggil seorang anak kecil yang sedang bermain di taman rumah sakit.

Anggara tidak memedulikannya lagi. Ia melirik kotak yang ada di sebelahnya. Tangannya terulur meraih kotak itu. Isinya sepotong kue coklat dengan sendok kecil yang ditaruh di pinggirnya. Memang tidak ada lilin, tapi sepotong kue cukup untuk sekedar melakukan perayaan kecil di hari ulang tahunnya yang penuh pilu membiru ini, kan?

Anggara tersenyum tipis. Setidaknya ada satu orang yang memberinya ucapan selamat dan do'a di hari ulang tahunnya yang ke-17. Ia harus bersyukur. Mamanya mengajarkan sekecil apapun kebaikan yang datang di harinya yang paling buruk harus ia syukuri.

Anggara mengedarkan pandangannya ke sekitar taman rumah sakit. Ia belum sempat mengucapkan terima kasih tadi. Tapi gadis itu sudah tak terlihat dalam pandangannya lagi. Anggara sedikit menyesal karena tadi membiarkan gadis baik itu menyerocos sendirian sampai ia sendiri juga lupa mengucapkan terima kasih. Ia hanya berharap akan bertemu gadis itu lagi nanti, kapanpun itu asal dipertemukan lagi.

Anggara berdiri dan kembali masuk ke dalam rumah sakit. Langkah kecilnya membawa ia ke depan sebuah ruangan dimana Mamanya sedang berjuang bersama dokter-dokter yang berusaha menyelamatkan beliau.

Oma -Ibunda dari Sang Mama, melihatnya datang dan langsung memeluknya. Tadi saat mendapat telepon dari beliau, Anggara bergegas menuju rumah sakit. Tapi langkah pertamanya tak langsung membawa dirinya ke ruang operasi. Ia melipir sebentar ke taman rumah sakit dan malah bertemu seorang gadis yang menurutnya berisik dan sangat bawel.

Oma memeluknya sambil menangis. Kalau ditanya siapa yang paling menyayangi dirinya setelah Mamanya, jawabannya adalah Oma. Oma menyayangi semua cucunya sama rata. Walaupun Anggara sadar akan posisinya di keluarga itu.

Ia berjalan mendekat ke seorang pria paruh baya yang berdiri dua langkah dari pintu ruang operasi.

“Papa,” panggilnya dengan suara gemetar. Ada rasa takut yang menggerayangi Anggara ketika berhadapan dengan Papanya. Beliau pasti akan menyalahkannya atas kejadian yang menimpa Istri Tercintanya.

Plak

Satu tamparan Anggara dapatkan di pipi mulusnya dari tangan besar Sang Ayah. Tak cukup melayangkan tamparan, Pria itu mendorong tubuh Anggara hingga ia tersungkur ke lantai rumah sakit. Kue yang ada di tangannya pun terlempar.

“Jangan panggil saya Papa, saya gak sudi!” teriak Pria itu di depan wajah Anggara. “Harusnya kamu sadar diri. Kamu bahkan bukan anak kandung kami, tapi selalu bertingkah seenaknya saja dan membuat Istri saya celaka.”

Anggara diam. Ia masih dalam posisinya, tak bergerak sedikit pun. Ia menerima semua amarah Pria itu tanpa memberikan perlawanan sedikitpun. Karena yang dikatakannya adalah fakta. Mamanya bukan Ibunya. Papanya juga bukan Ayahnya. Anggara hanya seorang bocah panti asuhan yang saat itu masih berumur tiga tahun yang kebetulan di adopsi oleh keluarga Hariwijaya.

Anggara juga baru mengetahui fakta itu ketika ia menginjak sekolah menengah pertama. Saat itu Mama dan Papanya bertengkar hebart karena nilai Anggara yang tiba-tiba menurun drastis. Papanya tidak sengaja mengungkapkan kebenaran tentang status Anggara sebagai anak adopsi di keluarga itu.

Bodohnya, sejak hari itu Anggara malah menjaga jarak dengan orang-orang yang dulu sangat dekat dengannya. Ia bahkan memberontak dari Papanya yang terus menuntutnya untuk belajar setiap malam agar nilainya meningkat.

Anggara sengaja memberontak, tidak ingin belajar, membiarkan nilai dan peringkatnya turun. Semua itu ia lakukan agar Papa setidaknya sedikit melunak dan mau kembali membimbing Anggara pelan-pelan, penuh kelembutan seperti hari sebelum kebenaran terungkap.

Tapi itu hanya ekspetasi bocah laki-laki yang masih labil. Papanya justru tidak lagi memedulikannya. Bahkan dulu Papa adalah orang yang paling menyayanginya berubah menjadi orang yang paling mengabaikannya. Beliau bahkan tidak ingin mengakui Anggara sebagai putranya setelah anak itu mengecewakannya. Baru satu kali Anggara mengecewakan Papanya dan dia sudah dibuang.

Oma menarik Anggara agar berdiri. Beliau menatap tajam ke arah Papa sambil menyuruh Anggara pergi dari sana. Anggara menuruti perkataan Omanya. Ia sadar betul kalau berlama-lama di situ hanya akan memperkeruh suasana. Anggara mengambil kotak kue yang ikut terlempar saat ia jatuh tadi. Mungkin sepotong kue itu tidak lagi utuh. Tapi setidaknya kue itu masih bisa Anggara nikmati nanti sambil menunggu hari ulang tahunnya yang kelabu itu berlalu.

Ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi untuk sekedar berpamitan dengan Papanya. Anggara sendiri bahkan ragu kalau Papanya akan menanggapi pamitnya. Kakinya melangkah pergi dan kembali ke rumah. Sisa harinya ia habiskan dengan mengurung diri di kamar.

Hingga dirinya ditelan kelamnya malam, Anggara masih setia duduk di lantai kamarnya yang ia biarkan dalam keadaan gelap. Menyesali segalanya yang telah ia lakukan dan membuat Mamanya berakhir seperti ini. Harusnya ia menuruti perkataan Papanya untuk belajar lebih rajin. Harusnya ia tidak merepotkan Mamanya yang harus mencarikan guru privat terbaik untuk mengajarinya dan mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan bertemu guru itu. Masalah yang harusnya kecil malah menjadi runyam karena Anggara terlalu menuruti egonya sendiri.

Anak laki-laki itu larut dalam benang kusut di kepalanya hingga ia sendiri tertidur dalam keadaan meringkuk sambil memeluk kedua lututnya di lantai kamar. Sedangkan di depan kamarnya, seseorang berdiri dengan tatapan ragu. Sebelah tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar itu. Sebelahnya lagi memegang kue dengan lilin berangka 17 di atasnya.

Tapi sesaat kemudian seseorang itu mengambil dua langkah mundur, menjauh dari kamar Putranya. Ia tidak tau harus mengatakan apa ketika berhadapan dengan Putranya nanti. Sedikitnya ia menyesal telah memperlakukan Putranya dengan sangat kasar tadi. Ia ingin berdamai dengan Putra Semata Wayangnya, namun tak tahu bagaimana caranya.

Kemudian ia berbalik dan menuruni tangga menuju dapur, menyimpan kue yang sudah disiapkannya bersama Sang Istri sejak kemarin kembali ke dalam kulkas. Mungkin damai itu akan ia lakukan lain kali. Hatinya juga masih berat menerima kenyataan kalau Istri yang paling dicintainya terbaring lemah, berjuang sendirian di ruang operasi. Ia tidak ingin menyalahkan Anggara, tapi emosi yang menelannya tadi memaksa dirinya menyudutkan Putranya yang tak sepenuhnya salah.

Mereka tenggelam dalam egonya masing-masing.

CW // family issue TW // bullying , mention of overweight

Aneh juga rasanya hampir seminggu ini tidak ada sapaan selamat pagi atau siang ketika dirinya dan Ann berpapasan di sekolah. Bahkan gadis itu berusaha memalingkan pandangan ketika netra mereka bertemu. Tapi Aakash tetap Aakash, ia tetap tidak akan peduli seperti biasanya.

Bahkan ketika sekarang ia sedang melakukan rutinitas ekskul yang juga hobinya, Aakash tetap mengabaikan Ann yang menunggu di pinggir lapangan sampai ekskul futsal selesai. Hanya saja hari ini tidak ada air mineral dan tissue yang biasa diberikan gadis itu untuknya.

Namun ketika Ann berdiri dari tempatnya dan beranjak pergi, Aakash tak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu.


Ann berjalan menuju kantin utama sekolah mereka. Kantin yang isinya cukup lengkap dan dengan tempat yang besar. Berada cukup jauh dari lapangan utama dan ketika mau menuju kantin ini, semua murid harus mengerahkan tenaga mengitari lapangan. Kantin ini juga yang membuatnya tertimpa musibah, mengingat insiden kepalanya hampir tertukar dengan bola beberapa waktu lalu.

“Eh, Kakak Cantik, mau beli jus, ya?” sapa penjual jus langganannya yang lebih akrab disapa Pakde. Entah siapa nama aslinya, tapi secara turun temurun semua murid di sekolahnya hanya memanggil Beliau dengan sebutan Pakde saja.

Ann hanya tersenyum. Memang Si Pakde menjual hal lain selain jus?

“Jus Mangga, ya, Pakde. Gak pake susu.”

“Siap, Kakak Cantik,” balas Pakde dengan ramah.

Ann tadinya ingin memilih tempat duduk sambil menunggu jus pesanannya diantarkan, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia memilih menunggu jusnya jadi baru memilih tempat.

Setelah membayar, Ann pergi menuju bagian pojok kantin. Beberapa kantin yang di pojok sudah tutup, jadi bagian situ sepi dan membuat dirinya cukup tenang. Ann membutuhkan kesendirian saat ini.

Dua temannya yang lain berada di kelas sedang mengerjakan tugas dari guru. Katanya dari pada dibawa pulang jadi PR dan mereka akan lebih merasa malas kalau dikerjakan di rumah, lebih baik mereka selesaikan dahulu selagi masih di sekolah. Tentu saja melihat dari tugas milik Ann yang sudah selesai lebih dulu. Ann, Si Jenius Pelajaran dan menyukai semua mata pelajaran apapun mengiyakan saja. Temannya itu memang agak malas kalau mengerjakan tugas matematika.

Ann memilih kantin sebenarnya hanya karena tidak ingin melihat siswa yang sedang ekskul futsal. Ngomong-ngomong tentang ekskul futsal, dirinya yang saat ini masih berada di sekolah adalah karena sedang menunggu Hisyam. Bukan lagi menonton atau menyemangati Aakash. Teman-temannya benar soal Aakash. Lebih baik menyerah saja mendekati laki-laki itu.

Tidak biasanya juga Ann mengejar laki-laki lebih dulu. Biasanya semua laki-laki akan tergila-gila padanya, dan mengejar-ngejarnya. Tentu saja tidak ada yang bisa memenangkan hati seorang Oriana Naresha. Bagi Ann, mereka seperti tissue, pakai saat butuh lalu buang.

Ann berkomitmen tidak akan serius dengan laki-laki. Mereka semua sama saja. Hanya mendekati wanita ketika mereka penasaran. Setelah rasa penasaran itu hilang, mereka akan meninggalkannya.

Tapi tidak akan ada lagi yang meninggalkan Ann, seperti Ayah meninggalkannya. Karena Ann yang akan lebih dulu meninggalkan mereka. Hanya satu laki-laki yang saat ini Ann percaya. Hisyam, teman yang selalu bersamanya sejak mereka kelas 5 SD. Hisyam yang paling tahu tentangnya dan tidak akan meninggalkannya.

Ann itu bagai bunga di antara rumput liar. Dia cantik. Sangat cantik. Bunga yang memiliki madu paling manis sehingga serangga berebutan untuk mencicipi madunya. Tapi bunga itu juga memiliki racun. Racun yang melindunginya dari serangga serakah.

Tentu saja bunga cantik itu juga butuh waktu untuk mekar. Ann yang secantik sekarang sampai-sampai disebut “Dewi” adalah Ann yang sudah melalui banyak hal.

Dalam ingatannya, masih terlihat jelas bagaimana orang-orang dulu memandangnya. Tatapan yang penuh ejekan itu harus Ann rasakan dalam waktu hampir setengah hidupnya.

Perkataan tajam mereka masih menancam bagai duri dan menggoreskan luka yang sampai saat ini belum juga sembuh. Apa lagi setelah melihat obrolan antara Hisyam dan Aakash di ponsel laki-laki itu kemarin.

Ann terkekeh pelan. “Murahan, ya? Dulu Mama juga selalu disebut gitu karena gue lahir tanpa Ayah. Masa iya murahan itu jadi turun temurun?”

Ann memutar-mutar gelas jus miliknya yang tinggal setengah. Ia sedang mehasihani dirinya saat ini.

Hingga dirinya yang sedang larut dalam lamunan disadarkan dengan air dingin yang tiba-tiba mengguyur rambut hingga wajahnya. Ann yang terkejut reflek berdiri dan melihat ke arah orang yang menyiramkan air tersebut padanya.

“Bintang?”

Orang itu Gemintang. Dulu, mungkin juga sampai sekarang selalu akrab disapa Bintang. Perempuan yang dulu juga menjadi teman dekat Ann. Tapi juga jadi orang yang memberikan luka paling dalam untuknya.

“Gue penasaran siapa orang yang disebut-sebut “Dewi” di Neo, ternyata lo.”

Bintang memotong jarak diantara mereka. “Padahal lo gak secantik itu, Ann. Lo masih sama buruk rupanya kayak dulu.”

Buruk rupa. Ya, Ann bahkan pernah dibilang buruk rupa sebelum menjadi secantik sekarang. Itu juga sebutan yang pertama kali Bintang berikan dalam tiga tahun persahabatan mereka.

Untuk sampai secantik sekarang, Ann harus merelakan banyak hal. Waktu bersantainya ia habiskan untuk olahraga demi menurunkan berat badannya yang berlebih. Ia juga harus menahan nafsu makannya yang besar. Ann juga belajar mengenai perawatan wajah dan tata rias. Semuanya Ann lakukan hingga ia berhasil mendapat gelar “Dewi” karena kecantikannya.

Tapi hari ini, gelar itu runtuh karena rasa rendah diri Ann. Ann bisa terima dibilang genit atau murahan tapi tidak dengan buruk rupa. Ann pernah sampai hampir mati karena orang-orang yang menghakiminya seperti itu.

Gadis itu mengambil langkah untuk pergi dari sana disisa kewarasannya. Kalau bertahan di sini, entah sampai kapan, mungkin Ann akan menjadi gila karena ingatannya dibawa ke waktu tiga tahun lalu saat orang-orang menatapnya jijik bahkan menjauhinya.

Tapi tangannya ditahan oleh Bintang. Satu tamparan dilayangkan ke pipi mulus Ann.

“Dari dulu gue pengen banget mukul wajah jelek lo itu. Bisa-bisanya Hisyam nolak gue gara-gara lo,” ucap Bintang sambil menarik rambut Ann, karena baginya tidak cukup hanya sebuah tamparan.

Ann melihat tangan Bintang yang melayang di udara, siap menamparnya lagi. Tapi beberapa detik hanya kekosongan yang terjadi. Hingga Ann membuka matanya yang sempat tertutup karena takut tadi dan melihat Hisyam juga entah bagaimana, Aakash, ada di sana.

Hisyam menghempaskan tangan Bintang yang ingin menampar Ann barusan dengan kasar.

“Perasaan gue gak enak sejak ngeliat almameter sekolah lo dateng ke sini. Gue pikir cuma yang anak-anak futsalnya aja yang dateng karena emang mereka mau latihan bareng kita. Tapi lo juga di sini. Masih belum cukup gangguin Ann?” Hisyam berucap panjang lebar dalam satu tarikan napas sambil menatap tajam ke arah Bintang.

“Gue denger, ya, semua omongan lo ke Ann tadi. Bahkan banyak saksi mata di sini. Lo salah tempat, Bin. Ini namanua bunuh diri karena lo berulah bukan di wilayah lo. Lo mau gue laporin ke pihak sekolah lo? Udah kelas 12, gak mau tiba-tiba drop out, kan?”

Bintang yang menyadari kesalahannya berdecak pelan dan memilih pergi. Tanpa memedulikan gadis itu, Hisyam berbalik dan menatap Ann yang sejak tadi berlindung di belakangnya.

“Lo gak papa, kan?” Pertanyaan itu berhasil meloloskan air mata Ann yang sejak tadi di tahan.

Hisyam menariknya ke dalam pelukan, membuat tangis gadis itu semakin kencang. “Gak papa, nangis dulu aja, Ann. Ada gue di sini. Gue gak akan ninggalin lo.”

Aakash yang sejak tadi memerhatikan mereka dalam diam, tiba-tiba membuka jaketnya dan disampirkan ke pundak Ann.

“Baju Kak Ann basah,” ucapnya tanpa suara kepada Hisyam yang menatapnya bingung. Sedangkan Ann masih menenggelamkan wajahnya dan setia menghabiskan air matanya.

Hisyam mengangguk kepada Aakash dan membalasnya dengan ucapan terima kasih.

“Kita pulang, Ann. Maaf, ya, gue gak tau kalo dia bakalan kesini. Maaf, Ann.” Hisyam melepaskan pelukannya dan membenarkan jaket milik Aakash yang tersampir di pundak gadis itu. Tidak lupa ia juga menghapus jejak air mata di pipi Ann.

“Gue balik, Kash. Lanjut latihan tanpa gue aja, atau bubarin juga gak masalah,” ucap Hisyam lalu pergi.

Aakash menatap kedua punggung yang menjauh itu. Sedikitnya ia merasa bersalah atas ucapannya kemarin tentang Ann. Benar kata Hisyam, Aakash hanya tidak mengenal Ann saja. Tapi Aakash benar-benar tidak menyukai gadis seperti Ann yang memiliki banyak laki-laki di sekitarnya. Karena itu juga membuka luka di hatinya.

CW // family issue TW // bullying , mention of overweight

Aneh juga rasanya hampir seminggu ini tidak ada sapaan selamat pagi atau siang ketika dirinya dan Ann berpapasan di sekolah. Bahkan gadis itu berusaha memalingkan pandangan ketika netra mereka bertemu. Tapi Aakash tetap Aakash, ia tetap tidak akan peduli seperti biasanya.

Bahkan ketika sekarang ia sedang melakukan rutinitas ekskul yang juga hobinya, Aakash tetap mengabaikan Ann yang menunggu di pinggir lapangan sampai ekskul futsal selesai. Hanya saja hari ini tidak ada air mineral dan tissue yang biasa diberikan gadis itu untuknya.

Namun ketika Ann berdiri dari tempatnya dan beranjak pergi, Aakash tak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu.


Ann berjalan menuju kantin utama sekolah mereka. Kantin yang isinya cukup lengkap dan dengan tempat yang besar. Berada cukup jauh dari lapangan utama dan ketika mau menuju kantin ini, semua murid harus mengerahkan tenaga mengitari lapangan. Kantin ini juga yang membuatnya tertimpa musibah, mengingat insiden kepalanya hampir tertukar dengan bola beberapa waktu lalu.

“Eh, Kakak Cantik, mau beli jus, ya?” sapa penjual jus langganannya yang lebih akrab disapa Pakde. Entah siapa nama aslinya, tapi secara turun temurun semua murid di sekolahnya hanya memanggil Beliau dengan sebutan Pakde saja.

Ann hanya tersenyum. Memang Si Pakde menjual hal lain selain jus?

“Jus Mangga, ya, Pakde. Gak pake susu.”

“Siap, Kakak Cantik,” balas Pakde dengan ramah.

Ann tadinya ingin memilih tempat duduk sambil menunggu jus pesanannya diantarkan, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia memilih menunggu jusnya jadi baru memilih tempat.

Setelah membayar, Ann pergi menuju bagian pojok kantin. Beberapa kantin yang di pojok sudah tutup, jadi bagian situ sepi dan membuat dirinya cukup tenang. Ann membutuhkan kesendirian saat ini.

Dua temannya yang lain berada di kelas sedang mengerjakan tugas dari guru. Katanya dari pada dibawa pulang jadi PR dan mereka akan lebih merasa malas kalau dikerjakan di rumah, lebih baik mereka selesaikan dahulu selagi masih di sekolah. Tentu saja melihat dari tugas milik Ann yang sudah selesai lebih dulu. Ann, Si Jenius Pelajaran dan menyukai semua mata pelajaran apapun mengiyakan saja. Temannya itu memang agak malas kalau mengerjakan tugas matematika.

Ann memilih kantin sebenarnya hanya karena tidak ingin melihat siswa yang sedang ekskul futsal. Ngomong-ngomong tentang ekskul futsal, dirinya yang saat ini masih berada di sekolah adalah karena sedang menunggu Hisyam. Bukan lagi menonton atau menyemangati Aakash. Teman-temannya benar soal Aakash. Lebih baik menyerah saja mendekati laki-laki itu.

Tidak biasanya juga Ann mengejar laki-laki lebih dulu. Biasanya semua laki-laki akan tergila-gila padanya, dan mengejar-ngejarnya. Tentu saja tidak ada yang bisa memenangkan hati seorang Oriana Naresha. Bagi Ann, mereka seperti tissue, pakai saat butuh lalu buang.

Ann berkomitmen tidak akan serius dengan laki-laki. Mereka semua sama saja. Hanya mendekati wanita ketika mereka penasaran. Setelah rasa penasaran itu hilang, mereka akan meninggalkannya.

Tapi tidak akan ada lagi yang meninggalkan Ann, seperti Ayah meninggalkannya. Karena Ann yang akan lebih dulu meninggalkan mereka. Hanya satu laki-laki yang saat ini Ann percaya. Hisyam, teman yang selalu bersamanya sejak mereka kelas 5 SD. Hisyam yang paling tahu tentangnya dan tidak akan meninggalkannya.

Ann itu bagai bunga di antara rumput liar. Dia cantik. Sangat cantik. Bunga yang memiliki madu paling manis sehingga serangga berebutan untuk mencicipi madunya. Tapi bunga itu juga memiliki racun. Racun yang melindunginya dari serangga serakah.

Tentu saja bunga cantik itu juga butuh waktu untuk mekar. Ann yang secantik sekarang sampai-sampai disebut “Dewi” adalah Ann yang sudah melalui banyak hal.

Dalam ingatannya, masih terlihat jelas bagaimana orang-orang dulu memandangnya. Tatapan yang penuh ejekan itu harus Ann rasakan dalam waktu hampir setengah hidupnya.

Perkataan tajam mereka masih menancam bagai duri dan menggoreskan luka yang sampai saat ini belum juga sembuh. Apa lagi setelah melihat obrolan antara Hisyam dan Aakash di ponsel laki-laki itu kemarin.

Ann terkekeh pelan. “Murahan, ya? Dulu Mama juga selalu disebut gitu karena gue lahir tanpa Ayah. Masa iya murahan itu jadi turun temurun?”

Ann memutar-mutar gelas jus miliknya yang tinggal setengah. Ia sedang mehasihani dirinya saat ini.

Hingga dirinya yang sedang larut dalam lamunan disadarkan dengan air dingin yang tiba-tiba mengguyur rambut hingga wajahnya. Ann yang terkejut reflek berdiri dan melihat ke arah orang yang menyiramkan air tersebut padanya.

“Bintang?”

Orang itu Gemintang. Dulu, mungkin juga sampai sekarang selalu akrab disapa Bintang. Perempuan yang dulu juga menjadi teman dekat Ann. Tapi juga jadi orang yang memberikan luka paling dalam untuknya.

“Gue penasaran siapa orang yang disebut-sebut “Dewi” di Neo, ternyata lo.”

Bintang memotong jarak diantara mereka. “Padahal lo gak secantik itu, Ann. Lo masih sama buruk rupanya kayak dulu.”

Buruk rupa. Ya, Ann bahkan pernah dibilang buruk rupa sebelum menjadi secantik sekarang. Itu juga sebutan yang pertama kali Bintang berikan dalam tiga tahun persahabatan mereka.

Untuk sampai secantik sekarang, Ann harus merelakan banyak hal. Waktu bersantainya ia habiskan untuk olahraga demi menurunkan berat badannya yang berlebih. Ia juga harus menahan nafsu makannya yang besar. Ann juga belajar mengenai perawatan wajah dan tata rias. Semuanya Ann lakukan hingga ia berhasil mendapat gelar “Dewi” karena kecantikannya.

Tapi hari ini, gelar itu runtuh karena rasa rendah diri Ann. Ann bisa terima dibilang genit atau murahan tapi tidak dengan buruk rupa. Ann pernah sampai hampir mati karena orang-orang yang menghakiminya seperti itu.

Gadis itu mengambil langkah untuk pergi dari sana disisa kewarasannya. Kalau bertahan di sini, entah sampai kapan, mungkin Ann akan menjadi gila karena ingatannya dibawa ke waktu tiga tahun lalu saat orang-orang menatapnya jijik bahkan menjauhinya.

Tapi tangannya ditahan oleh Bintang. Satu tamparan dilayangkan ke pipi mulus Ann.

“Dari dulu gue pengen banget mukul wajah jelek lo itu. Bisa-bisanya Hisyam nolak gue gara-gara lo,” ucap Bintang sambil menarik rambut Ann, karena baginya tidak cukup hanya sebuah tamparan.

Ann melihat tangan Bintang yang melayang di udara, siap menamparnya lagi. Tapi beberapa detik hanya kekosongan yang terjadi. Hingga Ann membuka matanya yang sempat tertutup karena takut tadi dan melihat Hisyam juga entah bagaimana, Aakash, ada di sana.

Hisyam menghempaskan tangan Bintang yang ingin menampar Ann barusan dengan kasar.

“Perasaan gue gak enak sejak ngeliat almameter sekolah lo dateng ke sini. Gue pikir cuma yang anak-anak futsalnya aja yang dateng karena emang mereka mau latihan bareng kita. Tapi lo juga di sini. Masih belum cukup gangguin Ann?” Hisyam berucap panjang lebar dalam satu tarikan napas sambil menatap tajam ke arah Bintang.

“Gue denger, ya, semua omongan lo ke Ann tadi. Bahkan banyak saksi mata di sini. Lo salah tempat, Bin. Ini namanua bunuh diri karena lo berulah bukan di wilayah lo. Lo mau gue laporin ke pihak sekolah lo? Udah kelas 12, gak mau tiba-tiba drop out, kan?”

Bintang yang menyadari kesalahannya berdecak pelan dan memilih pergi. Tanpa memedulikan gadis itu, Hisyam berbalik dan menatap Ann yang sejak tadi berlindung di belakangnya.

“Lo gak papa, kan?” Pertanyaan itu berhasil meloloskan air mata Ann yang sejak tadi di tahan.

Hisyam menariknya ke dalam pelukan, membuat tangis gadis itu semakin kencang. “Gak papa, nangis dulu aja, Ann. Ada gue di sini. Gue gak akan ninggalin lo.”

Aakash yang sejak tadi memerhatikan mereka dalam diam, tiba-tiba membuka jaketnya dan disampirkan ke pundak Ann.

“Baju Kak Ann basah,” ucapnya tanpa suara kepada Hisyam yang menatapnya bingung. Sedangkan Ann masih menenggelamkan wajahnya dan setia menghabiskan air matanya.

Hisyam mengangguk kepada Aakash dan membalasnya dengan ucapan terima kasih.

“Kita pulang, Ann. Maaf, ya, gue gak tau kalo dia bakalan kesini. Maaf, Ann.” Hisyam melepaskan pelukannya dan membenarkan jaket milik Aakash yang tersampir di pundak gadis itu. Tidak lupa ia juga menghapus jejak air mata di pipi Ann.

“Gue balik, Kash. Lanjut latihan tanpa gue aja, atau bubarin juga gak masalah,” ucap Hisyam lalu pergi.

Aakash menatap kedua punggung yang menjauh itu. Sedikitnya ia merasa bersalah atas ucapannya kemarin tentang Ann. Benar kata Hisyam, Aakash hanya tidak mengenal Ann saja. Tapi Aakash benar-benar tidak menyukai gadis seperti Ann yang memiliki banyak laki-laki di sekitarnya. Karena itu juga membuka luka di hatinya.

Aileen sedikit canggung saat menghadapi Javier. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kenapa?” tanya Javier dengan wajah datar. Padahal tadi ia buru-buru lari ke halaman rumah untuk memeluk Aileen.

Tapi, ia berusaha menahannya. Ia mau mendengar langsung Aileen memanggilnya Papa.

“Anu.. bentar lagi tiup lilin.”

Aileen kabur duluan ke panggung kecil yang ada di tengah-tengah halaman rumah yang kini sudah disulap menjadi tempat pesta yang megah.

Setelah make a wish dan tiup lilin, Aileen dengan sedikit gugup saat memotong kue. Ia ingin memberikan potongan pertama pada Javier. Tapi, Om Papanya— bukan, Papanya itu berdiri cukup jauh di belakang kerumunan.

Sengaja ya? Pikir Aileen.

Perlahan namun pasti, Aileen berjalan ke arah Javier.

“Potongam pertama, aku kasih ke sosok laki-laki paling hebat yang telah terlahir menjadi pahlawan buat aku, Papa Jav.” Aileen memberikan piring kue itu pada Javier yang wajahnya datar namun telinganya sudah sangat merah.

“Makasih Papa, buat semua yang udah Papa lakuin buat aku.” Aileen memeluk Javier erat. “Aku sayang Papa.”

“Anything for you.” Javier membalas pelukan itu tak kalah erat.

Pelukannya Aileen lepas setelah satu dehaman mengintrupsinya. Javier akan mengutuk siapapun orang yang telah mengganggu momen berharganya.

Aileen melihat Zergan yang mendekat ke arahnya.

“Kado.” Tangannya terulur untuk memberikan bingkisan kecil buat Aileen.

“Buat gue?”

Zergan mengangguk. Ia ingin langsung pergi dari hadapan Aileen dan Javier setelah merasakan tatapan yang sangat menusuk ke arahnya.

Kayaknya, timing Zergan kurang tepat. Ia melirik Javier yang berdiri di sebelah Aileen.

“Hai, Om,” sapanya dengan senyuman canggung.

Javier lah yang membuat Zergan merasakan tatapan tajam tadi.

“Kamu-”

“Zergan, Om.”

“Oh, yang gantungin anak saya?”

“Papa!”

Wah, Aileen pikir hari ini akan menyenangkan. Tapi, kehadiran Zergan yang bertemu Papanya benar-benar menyebalkan. Karena Zergan, Papanya jadi lebih mengusili keduanya.

Tapi, Aileen sangat senang. Karena ulang tahunnya yang ke-17 ini dihadiri oleh orang-orang yang disayanginya.

Aileen selesai menaburkan bunga di atas makan kedua orangtuanya. Ia tidak menangis lagi. Walaupun sejujurnya ia sangat ingin. Tapi, Aileen mencoba belajar ikhlas dengan kepergian.

Javier hanya menatap punggung mungil yang menahan isakannya. Sekuat apapun gadis itu, ia tidak akan bisa menahan tangis kalau yang dihadapinya adalah orang tuanya.

“Ma, Pa, besok Aileen ulang tahun. Yang ke-17. Ai udah dewasa, kan?” Aileen menghapus jejak air mata sebelum melanjutkan ucapannya. “Ma, Pa, Om Papa juga ada disini nemenin Ai ketemu kalian. Om Papa, baiiikk banget. Sampe kadang aku mikir kalo Om Papa itu bukan manusia karena saking baiknya.”

Setetes air mata jatuh dari mata Javier. Tidak terlalu jelas, namun Javier mendengar apa yang dikatakan Aileen.

“Sekarang, Om Papa yang jadi orang tua aku. Bukan maksudnya menggantikan kalian. Kalian punya tempat khusus di hatiku, begitu pun Om Papa. Gak apa, kan, kalo Om Papa sekarang aku panggil Papa? Tapi, jangan bilang-bilang dulu ya. Aku takut Om Papa kesenengan.”

Gadis itu mencoba tertawa sambil menghapus air matanya. Ia memandangi sebentar nisan yang mengukir nama kedua orang tuanya.

*“Ma, Pa, Ai pamit pulang ya? Nanti Ai kesini lagi, kok. Kalian jangan lupa datang ke ulang tahu Ai, ya? Walaupun lewat mimpi, Ai udah seneng banget.”

Aileen tersenyum tipis sebelum beranjak. Ternyata, Javier sudah tidak ada di belakangnya lagi. Mungkin, Javier langsung pergi saat menyadari dirinya menangis tadi.

Sosok Papa Muda itu kini sudah menunggu Putrinya di depan mobil.

“Udah ngobrolnya sama Mama Papa?”

Aileen menjawab dengan anggukan. Tanpa bicara banyak, ia masuk ke dalam mobil lebih dulu. Moodnya memang selalu kurang baik setelah menangis.

“Besok kamu ulang tahun, mau kado apa?”

Aileen nampak berpikir sejenak. “Mau Om Papa ada di party aja. Bisa gak libur besok?”

“Bisa, besok Papa kosongin semua jadwal buat kamu.”

“Makasih.”

Javier merutuki kebodohannya yang benar-benar lupa tentang hari ini. Hari dimana orang tua Aileen kecelakaan 10 tahun lalu. Gadis itu pasti sedang menangis dalam tidurnya karena kembali memimpikan hari kelam tersebut.

Tanpa mengetuk pintu, Javier langsung masuk ke kamar Aileen. Ia sudah melihat Putrinya banjir keringat dengan air mata yang mengalir dari matanya yang terpejam.

Javier dengan perlahan membangunkan Aileen karena napas gadis itu sudab sedikit sesak. Ia menggunakan lengannya sebagai sandaran Aileen yang menangis dengan napas yang setengah-setengah.

“Maaf, Papa lupa, maaf.”

Javier berusaha menenangkannya. Untungnya, trauma Aileen tidak separah dulu. Sekarang, lebih mudah menenangkannya. Javier memberi segelas air putih agar gadis itu lebih tenang.

“Om Papa...”

“Iya, besok kita ke rumah Papa sama Mama kamu, ya?”

Aileen mengangguk. Ia lelah menangis. Tapi, isi kepalanya tak hentinya memutar kejadian dimana kecelakaan itu merenggut orang tuanya.

Hari itu, orang tuanya datang jauh-jauh dari bandara untuk menjemputnya di sekolah. Aileen kecil menunggu seorang diri karena sekolahnya sudah sepi. Dari depan gerbang, ia melihat mobil orang tuanya. Bahkan, ia melihat Papanya yang melambaikan tangan dari balik kemudi ke arahnya. Senyum mereka cerah, secerah matahari yang bersinar pada hari itu.

Tapi, tiba-tiba semuanya menjadi gelap ketika dari arah samping, truk besar dengan kecepatan tinggi menghantam mobil orang tuanya yang mau memutar arah ke arah sekolahnya.

Bunyi hantaman yang keras itu tak bisa Aileen lupakan. Saat itu, dirinya yang masih kecil cukup lambat untuk mencerna semua yang terjadi di hadapannya. Sampai ketika jalanan yang lumayan sepi itu sudah berubah menjadi kerumunan. Dan seseorang membawa Aileen kecil kedalam gendongan.

Javier yang saat itu masih SMA menatap penuh khawatir pada keponakannya. Air mata tanpa disadari mengalir di pipi tembam Aileen. Dirinya yang cukup kaget tak sanggup berkata-kata lagi selain menangis semakin kencang.

Sama seperti sekarang, Aileen kembali menangis kencang karena ingatan itu kembali. Javier membiarkan gadis itu menangis hingga lelah. Kalau bisa, ia ingin Aileen menangis sampai melupakan semua kejadian hari itu.

Javier juga sakit ketika melihat Aileen menangis.

Kini, Javier dan Aileen semakin dekat. Benar-benar seperti orang tua dan anak sungguhan. Javier juga merasa lebih bahagia ketika ia tidak perlu lagi menyimpan rahasia mengenai Aileen pada dunia. Sekarang, ia bisa dengan bangga menunjukkan Putri Cantiknya yang pintar itu.

Dunia harus tau kalau Javier punya harta karun yang sudah disimpan lama olehnya.

Javier baru saja selesai memasang bingkai besar dibantu oleh beberapa orang. Bingkai yang di dalamnya ada fotonya dengan Aileen. Setelah kemarin selesai mengambil rapot Aileen, gadis itu mengajak Javier ke studio foto. Katanya, mau foto bareng aja. Ya, sebenarnya Javier senang bukan kepalang. Karena selama ini ia tidak punya foto berdua dengan anaknya yang bagus untuk dipajang di ruang keluarga.

Walaupun fotonya dadakan, Javier tetap terlihat tampan dan rapih dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai sebatas siku. Juga dengan Aileen dengan seragam sekolah kebanggaannya, walaupun Aileen sudah sedikit bosan dengan seragam Neo.

“Bagus ya? Tapi, kurang gede gak, sih?”

Javier tertawa mendengar sindiran Aileen. Karena nih ya, kalau dijelaskan, bingkai itu benar-benar besar. Kalau baru pertama masuk melalui pintu utama rumah tersebut, mata kalian akan tertuju pada bingkai yang menjadi sorotan utama di ruang keluarga itu.

“Mau yang lebih gede lagi, tapi takut gak muat.”

“Kalo gak muat ya beli rumah yang lebih gede aja lagi.”

“Hahahah, kok beli rumah?”

“Gak tau, aku ngasal aja, sih.”

Javier berjalan ke arah sofa diikuti Aileen.

“Kamu kok tumben pulangnya cepet?” tanya Javier.

Aileen itu tadi izin pergi main, katanya. Janji pulang sebelum jam 9 malam. Tapi, ia sudah ada di rumah pukul setengah 8 malam.

“Temen aku ada urusan mendadak.” Wajah gadis itu terlihat sedikit murung.

Javier sedikit tidak yakin kalau teman yang main dengan Putrinya ini hanya 'teman'.

“Kamu emang pergi sama siapa? Gak mungkin sama Calvian, tadi dia kesini nyariin kamu.”

Aileen melirik takut-takut. Ia tidak memberitahu Javier dengan siapa ia akan pergi. Tapi, Javier merasa lega karena Aileen pergi bukan dengan orang jahat.

“Pacar kamu, ya?” tanya Javier sedikit mengintimidasi.

“TEMEN!”

Javier semakin dalam menatap Aileen penuh selidik.

“Yaudah kalo gak percaya.”

Javier terkekeh kecil. “Iya percaya, kok.”

“Kamu udah makan malem?”

Aileen menggeleng. Melihat jawaban itu, Javier langsung berdiri dan berjalan ke arah dapur.

“Mau makan apa?”

“Makan di luar aja yuk? Mumpung belum malem banget, nih.”

“Oke.” Tanpa berpikir, Javier langsung menyetujui.

Ini kesempatan emas untuknya. Karena Aileen tidak pernah mengajaknya makan di luar berdua. Sesekali Javier mengajak, tapi selalu ditolak dengan dalih 'takut ketahuan publik kalau Jav punya anak'.

Ya sudah, Javier tidak mempermasalahkan itu. Sekarang ia lebih bebas untuk memiliki waktu dengan Putrinya.

“Papa ganti baju dulu, sebentar.”

“Oke.”

“Ini kemana, sih?”

“Sekolah Aileen,” jawab Javier sambil masih terfokus pada tabletnya.

“Mau ngapain?”

“Ngambil rapot.”

“Gue yang ngambil?” tanya Deandra lagi.

“Gak, gue yang ngambil.”

“Lah? Terus gue ngapain?”

Javier menghela napas sebentar sambil menatap Deandra yang pandangannya fokus pada jalan di depannya.

“Lo banyak tanya.”

“Ya, kan, gue kepo?”

“Lo anterin gue, sampe sekolah Aileen aja. GAK USAH IKUT MASUK,” ucap Javier sambil menekan kalimat terakhirnya.

“Ya.. udah? Kok ngegas?”

“Lo ngomong sekali lagi ini tugas terakhir lo, Dean.”

Deandra menelan ludah. Mulutnya terkunci rapat. Pandangannya semakin fokus pada jalanan. Tangannya memegang setir erat-erat.

Iya, Deandra takut dipecat Javier. Aneh? Enggak. Karena, kalau Deandra dipecat, sudah pasti ia kehilangan pekerjaan yang menurutnya paling enak.

Jadi asisten Javier itu enak banget menurut Deandra. Bossnya itu tidak pernah menuntut banyak. Pekerjaan yang dilakukannya juga tidak berat. Deandra bekerja dibantu banyak staff yang diperintahkan langsung oleh Javier. Jadi, Deandra tidak pernah merasa lelah bekerja. Gajinya juga bukan hanya lumayan, tapi sangat besar. Pokoknya, kalau Deandra sampai dipecat beneran, dia gak akan pernah mendapat pekerjaan seenak ini.

Di samping itu, Javier juga teman baiknya. Jadi, dia lebih merasa nyaman saat bekerja karena mereka sudah kenal dekat. Lagi pula, Javier yang paling mengerti latar belakangnya. Bagaimana Deandra berjuang untuk lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan seperti sekarang. Javier yang paling tau tentang dirinya. Kalau sampai Deandra kehilangan pekerjaannya saat ini, dia pasti akan lebih kesulitan karena Deandra hanya lulusan SMA saja.

Deandra pintar. Dia punya mimpi. Tapi, semesta punya realita. Keadaan keluarganya saat itu tidak sebaik sekarang. Jadi, dia harus merelakan mimpinya karena kondisi ekonomi keluarganya. Untungnya, semesta mengirimkan orang baik seperti Javier pada Deandra.

“Gue bercanda,” ucap Javier setelah tak lama merasakan ketegangan yang dimunculkan dari diamnya Deandra.

“Gak mungkinlah gue mecat lo. Dimana gue bisa nyari asisten pribadi yang kayak lo? Yang bisa gue repotin sama urusan pribadi gue? Gak ada. Ya, kecuali kalo lo mau mengundurkan diri suka rela, gue gak bisa nahan lo.”

Deandra hanya mengangguk. Ia benar-benar kehilangan kata-kata. Tapi, ia juga tidak ada pikiran untuk mengundurkan diri.

“Udah sampe.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Deandra.

Sedikitnya, Javier merasa bersalah karena candaannya tadi. Suasana diantara mereka jadi sedikit canggung. Harusnya, Javier tidak bercanda mengenai pekerjaan Deandra. Karena, kalau diingat lagi, Deandra adalah tulang punggung keluarganya.

“Sorry, gue gak maksud begitu.” Javier keluar dari mobil setelah mengucapkan kata maaf yang sangat pelan.

Tapi, Deandra masih bisa mendengar. Ia paham betul kok kalau temannya hanya bercanda. Deandra saja yang akhir-akhir ini perasaannya terlalu sensitif.

Ia pun memilih memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan. Sambil menunggu Javier, Deandra berkeliling yayasan sambil bernostalgia dengan masa sekolahnya.

“Om Dean!”

Deandra menoleh ke arah anak perempuan yang berlari kecil ke arahnya.

“Ngapain kamu disini? Kok gak sama Papa kamu?”

“Nih.” Aileen menyerahkan minuman dingin pada Deandra. “Maaf, kata Om Papa. Kenapa sih? Kalian berantem? Kok tumben?”

“Emangnya gak boleh?”

“Ya, boleh aja, sih. Tapi, lucu banget Om Papa minta maafnya lewat perantara gini. Kayak lagi marahan sama pacar aja.”

Aileen ini, kalau saja dia bukan anak bossnya, Deandra ingin sekali menabok mulutnya yang suka asal-asalan bicara.

“Kayak ngerti pacaran aja kamu.”

“Ngerti, kok.”

“Emangnya kamu punya pacar?”

Aileen menggeleng. “Enggak, sih.”

“Yaudah, jangan sok tau.”

“Galak banget.”

Aileen berdiri dari tempatnya. Ia menoleh menatap Deandra yang sedang menenggak minumannya.

“Makasih, ya, Om.”

Deandra hanya menaikkan sebelah alisnya.

“Makasih aja, hehe.”

Setelah itu, Aileen lari pergi meninggalkan Deandra yang kebingungan.

“Gak jelas,” ucap Deandra lalu menenggak minumannya lagi.

Setelah memastikan Aileen sampai dengan selamat di sekolah, Javier dan Deandra segera memutar arah menuju tempat Javier interview.

Tidak teelambat sih, tapi kan Javier juga harus siap-siap. Disepanjang perjalanan, laki-laki itu terus berdo'a dalam hati agar pertanyaannya nanti tidak ada yang aneh-aneh. Tapi, sepertinya semesta tidak berpihak padanya.

“Nah, Jav, kita akhirnya sampai pada pertanyaan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh publik khususya fans-fansnya Jav, nih.”

Javier hanya mengangguk sambil ternyesum.

“Ada berita yang menginfokan kalau Jav ini sudah punya anak, boleh tau gak gimana ceritanya bisa sampai sejauh ini?”

Di balik layar, Deandra sudak berkali-kali mendecakan lidah. Pertanyaannya sudah kelewat batas. Itu sudah ranah pribadi Javier.

Deandra hanya berharap kalau Javier bisa mengatasinya.

Javier tertawa kecil, kalau mereka peka, gesturnya sedikit mengejek. “Kalo saya bilang gak boleh, apa interviewnya bakal berantakan?”

Si Pembawa Acara tertawa canggung. “Ah, maaf, sepertinya Jav tidak bisa menjawab pertanyaan yang ini ya. Kalau begitu, kita ke pertanyaan selanjutnya saja, ya?”

“Bisa, saya bisa saja jawab. Tapi, bukankah ini namanya tidak profesional kalau interviewnya sampai menyentuh ranah pribadi?”

Si Pembawa Acara lagi-lagi meringis pelan. “Bisa kita lanjut ke pertanyaan berikutnya, Jav?”

Javier mengangguk. “Bisa, saya selalu siap menjawab pertanyaan yang diberikan. Masalahnya adalah, apakah kalian siap mendengar jawaban saya, itu saja.”

Interview kembali dilanjutkan. Deandra sudah bergerak gusar di balik layar. Ia ingin semua ini cepat-cepat selesai.

Setelah dua jam yang panjang, Javier kembali ke ruang ganti dengan muka yang sudah merah padam. Ia berusaha menahan emosinya sejak interview itu ngalor ngidul.

“Aeonmagz, kan?”

Deandra mengangguki pertanyaan Javier. “Kenapa?”

“Jangan terima pemotretan apa pun lagi dari sini buat artis-artis kita.”

“Semuanya?”

“Semuanya. AC Group gak akan rugi juga.”

“Siap, boss.”

Javier memukul tembok yang tak bersalah demi melampiaskan kekesalannya. Andai interview ini tidak menjelek-jelekan Aileen, Javier tidak akan semarag ini.

Setelah memastikan Aileen sampai dengan selamat di sekolah, Javier dan Deandra segera memutar arah menuju tempat Javier interview.

Tidak teelambat sih, tapi kan Javier juga harus siap-siap. Disepanjang perjalanan, laki-laki itu terus berdo'a dalam hati agar pertanyaannya nanti tidak ada yang aneh-aneh. Tapi, sepertinya semesta tidak berpihak padanya.

“Nah, Jav, kita akhirnya sampai pada pertanyaan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh publik khususya fans-fansnya Jav, nih.”

Javier hanya mengangguk sambil ternyesum.

“Ada berita yang menginfokan kalau Jav ini sudah punya anak, boleh tau gak gimana ceritanya bisa sampai sejauh ini?”

Di balik layar, Deandra sudak berkali-kali mendecakan lidah. Pertanyaannya sudah kelewat batas. Itu sudah ranah pribadi Javier.

Deandra hanya berharap kalau Javier bisa mengatasinya.

Javier tertawa kecil, kalau mereka peka, gesturnya sedikit mengejek. “Kalo saya bilang gak boleh, apa interviewnya bakal berantakan?”

Si Pembawa Acara tertawa canggung. “Ah, maaf, sepertinya Jav tidak bisa menjawab pertanyaan yang ini ya. Kalau begitu, kita ke pertanyaan selanjutnya saja, ya?”

“Bisa, saya bisa saja jawab. Tapi, bukankah ini namanya tidak profesional kalau interviewnya sampai menyentuh ranah pribadi?”

Si Pembawa Acara lagi-lagi meringis pelan. “Bisa kita lanjut ke pertanyaan berikutnya, Jav?”

Javier mengangguk. “Bisa, saya selalu siap menjawab pertanyaan yang diberikan. Masalahnya adalah, apakah kalian siap mendengar jawaban saya, itu saja.”

Interview kembali dilanjutkan. Deandra sudah bergerak gusar di balik layar. Ia ingin semua ini cepat-cepat selesai.

Setelah dua jam yang panjang, Javier kembali ke ruang ganti dengan muka yang sudah merah padam. Ia berusaha menahan emosinya sejak interview itu ngalor ngidul.

“Aeonmagz, kan?”

Deandra mengangguki pertanyaan Javier. “Kenapa?”

“Jangan terima pemotretan apa pun lagi buat artis-artis kita.”

“Semuanya?”

“Semuanya. AC Group gak akan rugi juga.”

“Siap, boss.”

Javier memukul tembok yang tak bersalah demi melampiaskan kekesalannya. Andai interview ini tidak menjelek-jelekan Aileen, Javier tidak akan semarag ini.