Sweet 17
Alternative Universe by SATURDAYDIARY
CW // Accident TW // Family Issues
“Nih, kue buat Masnya.” seseorang menyodorkan sebuah wadah berbentuk kotak yang berisikan sepotong kue kepadanya.
Anggara yang baru saja kembali setelah menolong seorang anak kecil yang terjatuh di taman rumah sakit menatap orang itu dengan pandangan bingung. Sepuluh menit sebelumnya, orang itu dengan percaya dirinya meminta Anggara sedikit bergeser dari tempat duduknya.
“Permisi, Mas. Boleh geser sedikit gak? Kursi yang lain penuh, Masnya doang yang duduk sendirian di sini,” kata gadis itu.
Anggara yang memang tidak ingin ambil pusing segala hal pun bergeser, ia bahkan bergeser sampai ke ujung kursi, membuat gadis itu menjadi sedikit merasa canggung. Hanya ada keheningan yang menyelimuti keduanya. Bagi Anggara gadis di sebelahnya hanya orang asing, yang akan berlalu ketika urusannya di situ telah usai. Jadi ia tidak perlu mengajaknya bicara, atau memang dasarnya Anngara tidak banyak bicara.
Hari ini sangat berat untuk Anggara. Benar-benar tak terbayangkan olehnya, kalau hari ulang tahunnya yang ke-17 akan menjadi seperti ini. Harusnya, sekarang ia makan malam bersama Mamanya. Tapi malam ini, Mamanya harus berjuang melawan semua rasa sakit demi bertahan hidup.
“Mas!” gadis di sebelahnya memanggilnya lagi. Ia masih menyodorkan kotak di tangannya kepada Anggara karena laki-laki itu tak kunjung menerimanya.
“Gak saya racunin kok. Tadi beliin itu buat Mas saya yang kebetulan dokter di sini. Tapi dia gak mau, katanya gak suka makanan manis. Padahal saya udah effort banget itu minta abang ojol mampir-mampir dulu ke toko kue sampe saya dimarahin sama abangnya.” Gadis itu terus menyerocos tanpa peduli Anggara mendengarkannya atau tidak.
“Ini Mas, buat Masnya aja,” ucap gadis itu lagi.
Anggara ingin menerimanya, tapi ketika tangannya terulur tiba-tiba ia mendapatkan sebuah notifikasi dari ponselnya.
Makan malam sama mama (Ulang tahun gue)
Notifikasi itu membuat Anggara merematkan tangannya. Makan malam itu sudah batal, dan tidak ada ucapan selamat ulang tahun dari Mamanya malam ini.
“Tuh kan! Kebetulan juga Masnya ulang tahun. Ini terima aja kuenya, tapi gak ada lilinnya, Mas, jadi gak bisa tiup lilin deh.”
Anggara menatap gadis di sebelahnya dengan tatapan sinis. Sedangkan gadis itu hanya nyengir tanpa dosa karena telah ketahuan mengintip ponsel Anggara.
“Selamat Ulang tahun, ya, Mas! Saya do'a-in yang baik-baik aja buat Masnya, hehe.”
Gadis itu kemudian berdiri dan melangkah pergi dengan terburu-buru. Ia memilih kabur dan meninggalkan kotak kue itu di sebelah Anggara sebelum laki-laki itu memarahinya karena mengintip tadi.
“Alyssa ayo pulang! Nanti keburu malem!” teriak gadis itu sambil memanggil seorang anak kecil yang sedang bermain di taman rumah sakit.
Anggara tidak memedulikannya lagi. Ia melirik kotak yang ada di sebelahnya. Tangannya terulur meraih kotak itu. Isinya sepotong kue coklat dengan sendok kecil yang ditaruh di pinggirnya. Memang tidak ada lilin, tapi sepotong kue cukup untuk sekedar melakukan perayaan kecil di hari ulang tahunnya yang penuh pilu membiru ini, kan?
Anggara tersenyum tipis. Setidaknya ada satu orang yang memberinya ucapan selamat dan do'a di hari ulang tahunnya yang ke-17. Ia harus bersyukur. Mamanya mengajarkan sekecil apapun kebaikan yang datang di harinya yang paling buruk harus ia syukuri.
Anggara mengedarkan pandangannya ke sekitar taman rumah sakit. Ia belum sempat mengucapkan terima kasih tadi. Tapi gadis itu sudah tak terlihat dalam pandangannya lagi. Anggara sedikit menyesal karena tadi membiarkan gadis baik itu menyerocos sendirian sampai ia sendiri juga lupa mengucapkan terima kasih. Ia hanya berharap akan bertemu gadis itu lagi nanti, kapanpun itu asal dipertemukan lagi.
Anggara berdiri dan kembali masuk ke dalam rumah sakit. Langkah kecilnya membawa ia ke depan sebuah ruangan dimana Mamanya sedang berjuang bersama dokter-dokter yang berusaha menyelamatkan beliau.
Oma -Ibunda dari Sang Mama, melihatnya datang dan langsung memeluknya. Tadi saat mendapat telepon dari beliau, Anggara bergegas menuju rumah sakit. Tapi langkah pertamanya tak langsung membawa dirinya ke ruang operasi. Ia melipir sebentar ke taman rumah sakit dan malah bertemu seorang gadis yang menurutnya berisik dan sangat bawel.
Oma memeluknya sambil menangis. Kalau ditanya siapa yang paling menyayangi dirinya setelah Mamanya, jawabannya adalah Oma. Oma menyayangi semua cucunya sama rata. Walaupun Anggara sadar akan posisinya di keluarga itu.
Ia berjalan mendekat ke seorang pria paruh baya yang berdiri dua langkah dari pintu ruang operasi.
“Papa,” panggilnya dengan suara gemetar. Ada rasa takut yang menggerayangi Anggara ketika berhadapan dengan Papanya. Beliau pasti akan menyalahkannya atas kejadian yang menimpa Istri Tercintanya.
Plak
Satu tamparan Anggara dapatkan di pipi mulusnya dari tangan besar Sang Ayah. Tak cukup melayangkan tamparan, Pria itu mendorong tubuh Anggara hingga ia tersungkur ke lantai rumah sakit. Kue yang ada di tangannya pun terlempar.
“Jangan panggil saya Papa, saya gak sudi!” teriak Pria itu di depan wajah Anggara. “Harusnya kamu sadar diri. Kamu bahkan bukan anak kandung kami, tapi selalu bertingkah seenaknya saja dan membuat Istri saya celaka.”
Anggara diam. Ia masih dalam posisinya, tak bergerak sedikit pun. Ia menerima semua amarah Pria itu tanpa memberikan perlawanan sedikitpun. Karena yang dikatakannya adalah fakta. Mamanya bukan Ibunya. Papanya juga bukan Ayahnya. Anggara hanya seorang bocah panti asuhan yang saat itu masih berumur tiga tahun yang kebetulan di adopsi oleh keluarga Hariwijaya.
Anggara juga baru mengetahui fakta itu ketika ia menginjak sekolah menengah pertama. Saat itu Mama dan Papanya bertengkar hebart karena nilai Anggara yang tiba-tiba menurun drastis. Papanya tidak sengaja mengungkapkan kebenaran tentang status Anggara sebagai anak adopsi di keluarga itu.
Bodohnya, sejak hari itu Anggara malah menjaga jarak dengan orang-orang yang dulu sangat dekat dengannya. Ia bahkan memberontak dari Papanya yang terus menuntutnya untuk belajar setiap malam agar nilainya meningkat.
Anggara sengaja memberontak, tidak ingin belajar, membiarkan nilai dan peringkatnya turun. Semua itu ia lakukan agar Papa setidaknya sedikit melunak dan mau kembali membimbing Anggara pelan-pelan, penuh kelembutan seperti hari sebelum kebenaran terungkap.
Tapi itu hanya ekspetasi bocah laki-laki yang masih labil. Papanya justru tidak lagi memedulikannya. Bahkan dulu Papa adalah orang yang paling menyayanginya berubah menjadi orang yang paling mengabaikannya. Beliau bahkan tidak ingin mengakui Anggara sebagai putranya setelah anak itu mengecewakannya. Baru satu kali Anggara mengecewakan Papanya dan dia sudah dibuang.
Oma menarik Anggara agar berdiri. Beliau menatap tajam ke arah Papa sambil menyuruh Anggara pergi dari sana. Anggara menuruti perkataan Omanya. Ia sadar betul kalau berlama-lama di situ hanya akan memperkeruh suasana. Anggara mengambil kotak kue yang ikut terlempar saat ia jatuh tadi. Mungkin sepotong kue itu tidak lagi utuh. Tapi setidaknya kue itu masih bisa Anggara nikmati nanti sambil menunggu hari ulang tahunnya yang kelabu itu berlalu.
Ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi untuk sekedar berpamitan dengan Papanya. Anggara sendiri bahkan ragu kalau Papanya akan menanggapi pamitnya. Kakinya melangkah pergi dan kembali ke rumah. Sisa harinya ia habiskan dengan mengurung diri di kamar.
Hingga dirinya ditelan kelamnya malam, Anggara masih setia duduk di lantai kamarnya yang ia biarkan dalam keadaan gelap. Menyesali segalanya yang telah ia lakukan dan membuat Mamanya berakhir seperti ini. Harusnya ia menuruti perkataan Papanya untuk belajar lebih rajin. Harusnya ia tidak merepotkan Mamanya yang harus mencarikan guru privat terbaik untuk mengajarinya dan mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan bertemu guru itu. Masalah yang harusnya kecil malah menjadi runyam karena Anggara terlalu menuruti egonya sendiri.
Anak laki-laki itu larut dalam benang kusut di kepalanya hingga ia sendiri tertidur dalam keadaan meringkuk sambil memeluk kedua lututnya di lantai kamar. Sedangkan di depan kamarnya, seseorang berdiri dengan tatapan ragu. Sebelah tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar itu. Sebelahnya lagi memegang kue dengan lilin berangka 17 di atasnya.
Tapi sesaat kemudian seseorang itu mengambil dua langkah mundur, menjauh dari kamar Putranya. Ia tidak tau harus mengatakan apa ketika berhadapan dengan Putranya nanti. Sedikitnya ia menyesal telah memperlakukan Putranya dengan sangat kasar tadi. Ia ingin berdamai dengan Putra Semata Wayangnya, namun tak tahu bagaimana caranya.
Kemudian ia berbalik dan menuruni tangga menuju dapur, menyimpan kue yang sudah disiapkannya bersama Sang Istri sejak kemarin kembali ke dalam kulkas. Mungkin damai itu akan ia lakukan lain kali. Hatinya juga masih berat menerima kenyataan kalau Istri yang paling dicintainya terbaring lemah, berjuang sendirian di ruang operasi. Ia tidak ingin menyalahkan Anggara, tapi emosi yang menelannya tadi memaksa dirinya menyudutkan Putranya yang tak sepenuhnya salah.
Mereka tenggelam dalam egonya masing-masing.